NAYPYITAW – Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi untu kesekian kalinya menegaskan kepada dunia internasional bahwa penyebutan Rohingya, bagi muslim pengungsi dari Bangladesh, terlarang. Penyebutan yang benar adalah Komunitas Muslim di Negara Bagian Rakhine.
Hal itu disampaikan perempuan pemenang nober perdamaian pad 1991 itu kepada perwakilan lembaga HAM PBB, Lee Yanghee pad Senin 20 Juni 2016, yang masih saja menggunakan istilah terlarang, merujuk kepada 1,1 juta orang yang hingga kini tidak diakui kewarganegaraannya.
“Pada pertemuan mereka pagi ini (Senin 20 Juni 2016), menteri luar negeri kami Daw Aung San Suu Kyi menjelaskan sikap kami bahwa pengunnaan istilah yang kontroversial itu selayaknya dihindari,” kata Sekretaris Kementerian Luar Negeri Myanmar, Aung Lin, seperti dilansir dari Channel News Asia, Selasa (21/6/2016).
Pada Jumat, perwakilan Myanmar untuk Dewan HAM PBB, Thet Thinzar Tun mengkritisi penggunaan nomenklatur atau penamaan tertentu seperti itu sama saja dengan menyiramkan bensin ke api yang menyala dan hanya membuat segalanya menjadi semakin buruk.
“Demi keharmonisan dan membangun kembali rasa percaya antar dua masyarakat, disarankan bagi setiap orang untuk menggunakan istilah ‘Komunitas Muslim di negara bagian Rakhine,” terang Thet atas persetujuan PBB juga.
Isu cara memanggil para pengungsi Muslim yang disentimeni oleh para umat Buddha di Myanmar itu mencuat lagi karena adanya laporan dari Komisi Tinggi PBB di Dewan HAM Zeid Ra’ad Al Hussein, betapa buruknya kehidupan suku Rohingya di negara tersebut.
Muslim Rohingya dikucilkan pada sektor pekerjaan tertentu. Untuk mendapat layanan kesehatan di rumah sakit pun mereka perlu mengurus dokumen perizinan khusus. Akibatnya, banyak perempuan hamil meninggal karena tertunda persalinannya dan angka kematian bayi di kalangan mereka juga begitu tinggi.
Menurut Zeid, tindakan pemerintah Myanmar tersebut jelas termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan internasional. Kejahatan jenis ini adalah pelanggaran serius, yang bahkan dilakukan secara meluas dan sistematis.
Sedikitnya 120 ribu pengungsi Rohingya masih tinggal seadanya di kemah-kemah penampungan kumuh, peninggalan dari bentrokan besar antara umat Buddha dan Muslim yang pecah di Rakhine pada 2012. Ribuan orang telah melarikan diri dari penganiayaan dan kemiskinan tanpa akhir di sana.
“Dan pemerintahan baru (yang dipimpin kaki tangan Suu Kyi) kini tetap saja mewarisi situasi, di mana undang-undang dan kebijakan yang dirancang menolak hak-hak dasar kaum minoritas dan ada indikasi impunitas atas pelanggaran serius terhadap masyarakat dan mendorong kekerasan terhadap mereka berlanjut,” tandas Zeid.
Saat Menlu AS John Kerry mengunjunginya bulan lalu, Suu Kyi pun paham situasi ini dan meminta dunia mengerti butuh waktu dan ruang yang cukup bagi mereka menangani isu tersebut. Untuk meredakan ketegangan itulah, ia berharap penggunaan istilah yang menyulut amarah dihindari untuk sementara waktu.
(Silviana Dharma)