SURABAYA - Sebanyak 98 kepala keluarga warga Tanjungsari, Surabaya, merayakan kemenangan setelah Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memenangkan gugatan mereka atas tiga perusahaan pengembang rumah mewah. Bahkan, majelis hakim mewajibkan tiga perusahaan membayar ganti rugi Rp16,8 miliar kepada warga.
Tiga perusahan pengembang rumah mewah itu adalah PT Darmo Satelit Town (DST), PT Darmo Grand (DG) dan PT Darmo Permai (DP). Dalam amar putusaanya, Majelis Hakim yang diketahui Efran Basuning, mengabulkan gugatan 98 KK karena mengacu pada SK Wali Kota Surabaya di era Bambang DH tahun 2003.
Dalam SK tersebut, mengacu dari hasil rekomendasi Tim Pembebasan Tanah Untuk Negara (P2TUN), yang menyatakan didalam lahan yang dikuasai pihak tergugat sebagaian terdapat lahan milik warga seluas 35 hektar. "Mengabulkan gugatan penggugat, menolak eksepsi para tergugat," terang hakim Efran.
Hakim memutuskan kepada tiga perusahaan pengembang itu untuk membayar senilai Rp16,8 miliar kepada warga. Jumlah tersebut didapat dari denda kerugian yang dihitung Rp350 juta dikali 48 tahun, sesuai dengan masa waktu pihak tergugat menguasai lahan sengketa. Hakim juga mewajibkan pihak tergugat untuk membayar uang paksa atau dwangzoom sebesar Rp1 Juta per hari. Jumlah ini dihitng setiap tergugat terlambat mengembalikan obyek sengketa.
Putusa majelis hakim ini langsung disambut isak tangis ratusan warga yang hadir di halaman PN Surabaya. Mereka juga melakukan sujud syukur atas putusan tersebut sebagai tanda kemenangan atas sengketa tanah yang berlangsung puluhan tahun itu. "Ini kemenangan dari doa kalian, jangan pernah meninggalkan Sholat,"ujar Kuasa Hukum Warga Tanjungsari, Eggi Sudjana kepada ratusan warga Tanjung Sari.
Untuk diketahui, 98 Kepala Keluarga (KK) di Jelurahan Tanjungsari, Surabaya melayangkan gugatan kepada pengembang rumah mewah. Mereka menganggap perusahaan tersebut telah mencaplok lahan warga selama 48 tahun.
Di jelaskan dalam gugatan, tiga perusahaan itu semula bernama CV Pembangunan Darmo. Dan pada tahun 1973, mereka membebaskan lahan sengketa melalui Panitia Pembebasan Tanah Untuk Negara (P2TUN) yang dibentuk Pemkot Surabaya, saat itu bernama Pemerintah Kotamadya Dati II Surabaya.