"Mereka hanya menduga benar atau tidak akan dieksekusi. Karena biasanya ada briefing. Kita baru tahu akan ada eksekusi di hari itu pas dapat nametag operasi nusa candi. Itu memang nametag yang selalu dipakai buat keluarga atau kuasa hukum terpidana yang dibolehkan masuk ke Nusakambangan di malam eksekusi itu," ulasnya.
Ketiga, lanjut dia akses kuasa hukum juga dibatasi. Pada tahap II kuasa hukum yang namanya tercantum dalam surat kuasa bisa masuk menemui terpidana mati. Pada eksekusi mati tahap III dibatasi hanya satu orang saja. "Terlihat kejaksaan membatasi hak terpidana untuk bertemu keluarga dan kuasa hukum," katanya.
Keempat, tidak adanya transparansi anggaran eksekusi mati. "Saya baca di artikel Rp200 juta per terpidana dari APBN pada tataran pelaksanaan tidak ada prosedur yang jelas, tidak ada profesionalitas dari kejaksaan melakukan eksekusi ini. Padahal anggarannya besar-besaran," tukasnya.
(Amril Amarullah (Okezone))