KISAH memilukan kembali terulang. Seorang bayi berusia 4 bulan bernama Tiara Debora Simanjorang meninggal dunia pada Minggu 3 September 2017 karena diduga telat mendapat perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat. Bayi Debora yang merupakan putri dari pasangan Rudianto Simanjorang-Henny Silalahi, warga Kecamatan Benda, Kota Tangerang, dibawa ke rumah sakit pada pukul 03.40 WIB karena mengalami sesak napas. Namun, nyawanya tak tertolong sesaat sebelum dirujuk ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek sangat menyesalkan masih ada rumah sakit yang menolak pasien karena peserta BPJS. Padahal, kata dia, sudah ada sebuah regulasi kalau dalam keadaan darurat harus segera ditangani pihak rumah sakit. Ia menerangkan, merujuk Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 dalam Pasal 32 huruf q termaktub salah satu hak pasien yakni menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai standar. Dengan begitu, tak ada alasan penyedia jasa kesehatan menolak pasien yang tidak memiliki biaya.
(Baca: Nah! Dugaan Pelanggaran Pidana di Kasus Bayi Debora Sedang Diselidiki)
Menkes Nila sendiri telah menginstruksikann tim dari Kemenkes dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk meminta pemaparan RS Mitra Keluarga Kalideres yang menangani bayi Debora sejak masa kritis hingga meninggal dunia. "Hari ini kita tentu dari Dinkes DKI, Kemenkes, akan pergi ke rumah sakit. Kita harus dengarkan dari dua pihak, jadi tidak hanya satu pihak," ujarnya, Senin 11 September 2017.
Ia menegaskan, pihaknya bakal meminta keterangan terkait sejauh mana RS Mitra Keluarga memberikan pertolongan kepada bayi Debora dan analisis medisnya soal penyakit yang menyebabkan meninggal dunia itu.
(Baca: Bayi Debora Meninggal, Komisi VIII DPR Rekomendasikan Sanksi untuk RS Mitra Keluarga)
Sementara Ketua Komnas Perlindungan Aanak Arist Merdeka Sirait mengkritik sikap RS Mitra Keluarga Kalideres yang diduga melakukan pembiaran terhadap bayi Debora. "Rumah sakit tidak lagi sebagai institusi atau tempat untuk menyelematkan kemanusiaan, namun telah berubah menjadi institusi kesehatan yang berorientasi pada bisnis dan ekonomi," ungkapnya, Minggu 10 September 2017.
Meninggalnya bayi Debora, menurut Arits, menunjukkan adanya krisis kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapat pelayanan dasar atas kesehatan sebagaimana diatur UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Arist menyayangkan jika terlambatnya penanganan Debora gara-gara orangtua korban belum sanggup membayar biaya diminta rumah sakit. Sebelumnya RS Mitra Keluarga mematok biaya uang muka untuk perawatan PICU sebesar Rp19.800.000. Namun, orangtua Debora menawarkan membayar Rp5.000.000 dahulu dan berharap anaknya segera ditangani, namun ditolak.
(Baca: Astaga! Selama Lima Tahun Terakhir Ada 526 Kasus Anak seperti Debora)
Sementara manajemen RS Mitra Keluarga menyangkal tudingan sengaja membiarkan bayi Debora. Manajemen RS Mitra Keluarga menyatakan sudah memberikan tindakan penyelamatan terhadap bayi Debora. Ketika tiba di sana, bayi Debora dinyatakan dalam keadaan tak sadar dan tubuh membiru. Ia terlahir prematur.
"Pasien segera dilakukan penyelamatan nyawa (life saving) berupa penyedotan lendir, dipasang selang ke lambung dan intubasi (pasang selang napas), dilakukan bagging (pemompaan oksigen dengan menggunakan tangan melalui selang napas), infus, obat suntikan, dan diberikan pengencer dahak," terang pihak manajemen RS Mitra Keluarga dalam laman resminya.
Pihak RS Mitra Keluarga pun telah menawarkan agar bayi Debora dirawat di PICU, namun pihak keluarga tak sanggup memenuhi uang muka yang diminta. Sehingga, mereka membantu keluarga Debora agar bisa dirujuk ke Rumah Sakit yang bekerja sama dengan peserta BPJS. Setelah mendapatkan rumah sakit rujukan, kondisi bayi Debora tiba-tiba memburuk. Dokter telah memberikan pertolongan resusitasi selama 20 menit, namun nyawa bayi Debora tidak tertolong.
(Hantoro)