Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Cerita di Balik Masjid Tua Bersejarah Ibu Kota

Achmad Fardiansyah , Jurnalis-Sabtu, 08 Desember 2018 |09:02 WIB
Cerita di Balik Masjid Tua Bersejarah Ibu Kota
Masjid Al Alam Marunda, Cilincing, Jakarta Utara (Achmad Fardiansyah/Okezone)
A
A
A

JAKARTA bukan hanya Monas dan gedung-gedung tinggi, tapi juga banyak masjid-masjid tua saksi sejarah perjuangan bertaburan di sepenjuru Ibu Kota. Sebagian di antaranya kini jadi objek wisata religi yang ramai dikunjungi warga.

Satu di antaranya adalah Masjid Al Alam Marunda atau dikenal juga dengan Masjid Si Pitung (Dulu namanya Masjid Auliya). Masjid dekat pantai Marunda, Cilincing, Jakarta Utara ini ramai peziarah hampir saban hari.

Konon, ini masjid pertama di Jakarta. Dibangun oleh Fatahilah, pahlawan yang mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan mendirikan Jayakarta (Jakarta sekarang).

Banyak cerita unik dari masjid ini. Misalnya pembangunan yang diklaim selesai dalam semalam, rumah Si pitung dan benteng para pendekar melawan penjajah.

“Kalau kata orang tua dulu, (masjid) ini didirikan hanya dalam waktu semalam," tutur pengurus Masjid Al Alam, Kusnadi kepada Okezone tengah pekan ini.

Masjid Al Alam Marunda (Achmad/Okezone)

Berdasarkan penelitian Dinas Purbakala DKI Jakarta pada 1980, mesjid ini diperkirakan dibangun pada 22 Juni 1527. Tanggal ini diyakini sebagai hari jadi Jakarta.

Menurut riwayat, saat itu Fatahilah bersama pasukannya dari Demak-Cirebon datang untuk mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Dia membangun masjid sebagai tempat ibadah sekaligus konsentrasi pasukan.

Fatahilah bersama pasukannya kemudian berhasil merebut Sunda Kelapa dan mendirikan Jayakarta.

Arsitektur masjid ini mengandung empat unsur kebudayaan; Jawa, Eropa, China dan Betawi.

"Kalau dilihat dari atas bangunnan memiliki gaya joglo itu arsitek Jawa, lalu uwungan agak melungkung dari atas digenting itu, nah itu asal arsitek dari China. Selanjutnya gaya arsitek dari Eropa terdapat dari empat pilarnya atau tiang-tiang dicor yang sangat kokoh. Yang terakhir itu Betawi dilihat dari unsur jendela dan ukirannya," bebernya.

Masjid ini sengaja dibangun megah dengan gaya campuran karena Marunda saat itu merupakan kota sekaligus pusat perekonomian.

Masa Hindia Belanda, masjid ini jadi pusat dakwah yang melahirkan para pejuang dan benteng pertahanan.

Pada 1884, Gunung Krakatau meletus lalu memunculkan tsunami yang menyapu Sunda Kelapa hingga Marunda. Tapi, Masjid Al Alam diyakini tak tersentuh, meski kawasan di sekitarnya hancur diamuk gelombang pembunuh.

Berdasarkan serita orang dulu, kata Kusnadi, ombak tsunami terbelah saat tiba di Masjid Al Alam sehingga tak merusak bangunannya.

Di kompleks masjid ada makam KH Jamiin bin Abdullah dan sumur dengan air tiga rasa yang sebagian orang percaya bisa menyembuhkan penyakit.

Masjid Al Alam Marunda sudah dijadikan cagar budaya, sama halnya dengan Masjid An Nawir di Pekojan, Tambora, Jakarta Barat.

Masjid An Nawir dibangun sejak 1760 oleh Mufti Betawi Habib Usman bin Abdullah bin Yahya.

Menurut pengurus Dewan Kemakmuran Masjid An Nawir, Ustaz Diki Abu Bakar Basarip, Habib Usman telah mengarang 50 kitab berbahasa Jawi atau Melayu-Arab.

Kiblat masjid ini sempat condong ke barat laut, kemudian dibenarkan arahnya oleh ulama dari Banten, Imam Nawawi.

Masjid An Nawir menjadi pusat ilmu agama Islam. Banyak pemuda dari berbagai daerah belajar ke sini. Mereka kemudian mengobarkan perlawanan terhadap Belanda.

Arsitektur Masjid An Nawir memadukan tiga kebudayaan. Dari samping terlihat bergaya bangunan khas China, dalamnya menyuguhkan gaya Eropa dengan 33 pilar.

“Pilar-pilar berjumlah 33 buah melambang jumlah tasbih, tahmid, takbir yang biasa dibaca sehabis salat," ujar Diki.

Kemudian unsur Jawa terlihat dari bentuk ukiran jendela dan pintu. "Di sini ada pintu jumlah empat buah, jendela lima buah, itu semua memiliki arti di dalam Islam melambangkan rukun Islam, ditambah pintu utama di arah selatan jembatan kambing berjumlah empat buah yang melambangkan sahabat Nabi Muhammad SAW yakni Abu Bakar RA, Umar RA, Usman RA dan Ali RA."

Masjid ini sekilas seperti rumah karena tak memiliki menara bagian luar layaknya masjid pada umumnya.

Setiap Selasa malam, di masjid ini digelar pengajian kitab Irsyadul Anam, ilmu tafsir dan falakiah (ilmu perbintangan), kitab karangan Habib Usman, sang pendiri masjid.

Masjid As Salafiah di Jalan Jatinegara Kaum, Pulo Gadung, Jakarta Timur juga punya cerita. Masjid Pangeran Jayakarta ini juga salah satu masjid tua yang sudah jadi cagar budaya. Riwayat menyebut masjid ini dibangun oleh Achmad Jaketra alias Pangeran Jayakarta pada 1619.

Masjid ini jadi tempat Pangeran Jayakarta mengonsentrasikan pasukan untuk melawan Belanda. Letaknya saat itu di tengah hutan membuat serdadu kolonial sulit untuk masuk.

Makam Pangeran Jayakarta (Achmad/Okezone)

Masjid ini punya kekhasan yakni tiang-tiang kayu yang masih dipertahankan. Kemudian ada makam Pangeran Jayakarta yang ramai diziarahi. Makam keturunannya juga ada di situ seperti Pangeran Lahut, Pangeran Soeria, Pangeran Sageri dan Ratu Rupiah.

Karena sudah jadi lokasi wisata religi, di sana kini ada majalah dinding dan kajian-kajian tentang sejarah bumi, alur kehidupan dan ilmu-ilmu alam yang dikupas berdasarkan Alquran dan Hadis sehingga menarik minat orang untuk datang.

"Di sini banyak yang sengaja datang, anak-anak pulang dari sekolah baca-baca di sana, para jemaah dan peziarah banyak," kata juru parkir Masjid As Salafiah, Usman.

 

(Salman Mardira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement