JAKARTA - Partai Demokrat memecat 7 kadernya karena dianggap membangkang terhadap kebijakan partai. Pemecatan tersebut, justru menimbulkan riak-riak di akar rumput akan adanya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat.
Pengamat politik yang juga pegiat media dan media sosial, Ninoy Karundeng, jika melihat situasi Partai Demokrat kini, cepat atau lambat Kongres Luar Biasa (KLB) akan terlaksana.
Menurutnya, Ada beberapa faktor yang memicu kisruh internal Partai Demokrat semakin meruncing. Faktor utama adalah kepemimpinan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat yang belum mumpuni. Faktor lainnya adalah penguasaan pimpinan Demokrat dalam satu keluarga, serta Demokrat kehilangan elan vital dan raison d’etre.
“Berbagai faktor lain ikut mengakselerasi konflik internal Demokrat menjadi konflik keluar partai, karena SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) memainkan kartu playing victim, menggoreng isu kudeta,” jelas pengamat politik yang juga pegiat media dan media sosial, Ninoy Karundeng mengomentari kisruh Partai Demokrat di Jakarta, Senin (1/3/2021).
Lebih lanjut dijelaskan Ninoy, pola dan strategi playing victim, alias merasa dizalimi, yang dipraktikkan oleh SBY adalah dengan menyalahkan eksternal Demokrat. Padahal, isu adanya KLB disebabkan oleh kepemimpinan keroposnya kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan SBY.
Baca Juga: Senior Demokrat Ungkap 9 Hal yang Diklaim Dapat Menyakitkan SBY
“AHY dan SBY di Demokrat tidak memiliki elan vital sama sekali. Sehingga sejak dikuasai oleh Dinasti Cikeas, Demokrat tidak memiliki raison d’etre sebagai partai,” papar Ninoy.
Ninoy Karundeng mencontohkan, meskipun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dikuasai oleh trah Soekarno, namun sosok Bung Karno sebagai pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ideologi yang jelas serta sepak terjang Megawati yang membela wong cilik membuat PDIP tetap menjadi partai besar pascareformasi.
Sementara Demokrat dengan AHY dan pentolan partai termasuk SBY tidak mampu menarik dukungan publik. Penyebabnya adalah persepsi terhadap SBY di mata publik sebagai sosok yang suka mencampuri urusan pemerintahan Presiden Joko Widodo, padahal kinerja SBY tidak semoncer Jokowi di bidang infrastruktur misalnya.
Ketiadaan raison d’etre karena Demokrat tidak memiliki tokoh yang mumpuni, dan hilangnya elan vital dalam Demokrat membuat survei elektabilitas Demokrat merosot. Bahkan survei Litbang Kompas di Agustus 2020, Demokrat terperosok dalam kubangan parliamentary threshold 3,6 persen. Angka elektabilitas yang mencerminkan kepemimpinan AHY.
Penyebabnya, lanjut Ninoy, karena AHY ditarik dari militer dengan pangkat mayor, maka dia sebenarnya belum matang sebagai calon pemimpin. Pencalonan AHY di pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 menjadi contoh kegagalan politik peram mangga, AHY dipaksa matang oleh SBY.
Akibatnya AHY hanya berperan sebagai pemecah suara Basuki Tjahaja Purnama, terbukti suara kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno 58 persen adalah akumulasi suara di putaran pertama dengan 17 persen suara AHY-Sylviana Murni.
Kegagalan kepemimpinan Demokrat di bawah SBY dan AHY makin terbukti di Pileg 2019. Suara Demokrat hanya 7,77 alias 54 kursi DPR. Di pemilu legislatif 2014 PD meraih 61 kursi, sebelumnya di 2009 memiliki 148 kursi di DPR.
“Makin merosotnya suara Demokrat, selain sudah tidak memiliki elan vital dan rasion d’etre, ditambah kepempimpinan yang tidak mumpuni, membuat partai kehilangan daya tarik,” jelas Ninoy.
Terlebih lagi SBY memecat tujuh kader dan tokoh Demokrat yakni Darmizal, Tri Yulianto, Yus Sudarso, Jhoni Alen Marbun, Syofwatillah Mohzaib, Ahmad Yahya dan Marzuki Alie.
“Pemecatan terhadap tujuh kader dan mengangkat isu kudeta untuk menaikkan elektabilitas menjadi blunder AHY dan SBY, apalagi ditambah gencarnya pemberitaan di media dan media sosial, justru akan mengakselerasi KLB Demokrat benar-benar terwujud, saya prediksi minimal akan muncul kepemimpinan ganda di Demokrat,” pungkas Ninoy.
(Khafid Mardiyansyah)