PRAMOEDYA Ananta Toer membuat buku berjudul "Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer". Buku ini semacam surat yang ditulis oleh Pramoedya kepada para perawan remaja masa depan untuk menceritakan bahwa dahulu ada tragedi yang memilukan, menyuramkan dan menakutkan yang tak boleh terjadi di masa mendatang.
Di masa penduduk Jepang tahun 1943, pemerintah Balatentara Penduduk Dai Nippon telah memperkosa gadis-gadis Indonesia dan mengambil mereka tanpa sepengetahuan dan seizin orang tua mereka.
Tanpa mereka ketahui para gadis yang berusia 14-20 tahun dibawa dengan iming-iming untuk belajar ke Tokyo atau Singapura oleh pemerintah Jepang. Ternyata pada kenyataannya hanya dijadikan pelacur atau gadis penghibur, dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu. Mereka tidak lebih hanya sebagai pemuas nafsu birahi tentara Jepang. Kehormatan dan masa depan mereka terampas.
Setelah Jepang menyerah pada sekutu dan meninggalkan Indonesia, mereka ingin pulang ke kampung halaman. Beban moral yang berat harus mereka tanggung terlebih rasa malu yang membuat mereka tidak berani pulang. Mereka ada yang dibuang dan tinggal di Pulau Buru.
Wartawan senior, Peter Rohi pernah melacak sisa-sisa Jugun Ianfu itu. Ia melacak nama-nama dalam buku Pram semua sudah meninggal.
Baca juga: Kisah Limun Soda dan Air Belanda Klaasesz Tjap Koetjing dari Semarang
"Akhirnya dengan bantuan sahabat Jalil Latuconsina kami mnenemukan nama-nama lain yang tidak disebutkan dalam buku Pram," kata Peter dalam sebuah wawancara.
Dikemukakan Peter, bahwa hasil investigasinya mencatat sekitar 20 anak remaja dari Jawa, umumnya para putri ambtenar berpendidikan Schachel shool dan seorang putri dari Korea sebagai Jugun Ianfu yang tertinggal ketika tentara Jepang dilucuti Sekutu 1945.
Perempuan itu disembunyikan ke lereng Gunung Rana melalui jalan sungai, tetapi di sana mereka disergap suku primitif dan dibagi-bagikan pada kepala suku.
Satu di antara mereka bernama Nya Sengker, menceritakan mereka diangkut dengan kapal dari Semarang tahun 1943 dengan tujuan Tokyo. Mereka dijanjikan akan disekolahkan untuk menajdi perempuan pembangun Nusantara kelak sesudah merdeka.
Ternyata di tengah laut mereka dibelokkan ke Jailolo di Pulau Halmahera. Dari sana mereka dibagi ke pulau kecil, tempat pertahanan Jepang.
Yang paling kontroversi adalah Nya Sembar, yang bernama asli Sitti Fatimah, putri Wakil Wedana Subang. R. Singadikarta sejak awal memang tidak mau pulang agar tidak memberi aib pada keluarga. Tetapi ia berpesan pada putra satu-satunya yang bernama Selang (Syarif), agar mencari keluarganya di Subang.
Baca juga: Kisah Nama Batavia Lahir dari Serdadu VOC Mabuk dan Java Bier "Untuk Orang Kuat"
"Asal mereka ingat mama, dan tidak malu mengakui mama," kata Selang mengulangi pesan ibunya.
Mengutip kisah ibundanya, Selang mengatakan mama sebenarnya tidak mau ikut Jepang, tapi Jepang mengancam akan membunuh Sang Wakil Wedana dan dua saudara laki-nya. “Akhirnya tak ada pilihan bagi mama, selain mengikuti Jepang untuk menyelamatkan Ayah dan dua saudaranya,” kata Selang.
Dalam tulisan "Prostitusi di Jakarta Dalam Tiga Kekuasaan, 1930 – 1959: Sejarah dan Perkembangannya " oleh Lamijo, disebutkan selama Jepang menduduki Indonesia, secara fisik dapat dikatakan bahwa Jakarta sama sekali tidak mengalami perkembangan, namun prostitusi dan komersialisasi seks terus berkembang selama pendudukan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang inilah disinyalir terjadi eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan juga ada jaringan perdagangan perempuan untuk dijadikan pelacur.
Indikasi ini terkait dengan banyaknya perempuan yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia prostitusi. Bangsa Jepang menawarkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik di Tokyo atau kota-kota Indonesia lainnya kepada sejumlah perempuan.
Banyak perempuan yang tertarik dengan tawaran itu dan dibawa dan ditampung ke daerah-daerah sekitar pelabuhan Semarang, Surabaya dan Jakarta (Tanjung Priok). Dalam kenyataanya mereka dipaksa melayani hasrat seks para serdadu dan perwira Jepang serta dilarang meninggalkan rumah bordil.
Seperti penuturan Kartini, “Begitu saya naik kapal saya terus disambut oleh tentara Jepang. Ia tertawa dan dengan lancang, ia menggerayangi tubuh saya. Saya menjerit ketakutan tetapi tak ada yang menolong saya. Saya diciumi terus dan dipondongnya saya ke dalam kamar, ia geletakkan saya dan ketika bangun seluruh badan lemas, pakaian rusak semua, badan sakit semua dan kemaluan ini bengkak. Saya menangis. Tiap-tiap saya menangis dia malah datang lagi dan diulanginya perbuatan itu dan saya pingsan lagi. Begitu terus sampai saya tidak dapat menangis lagi”.
Pada umumnya perempuan yang tertipu dan dipaksa menjadi pemuas nafsu berasal dari latar belakang keluarga pegawai pangreh praja yang takut kehilangan pangkat dan jabatannya.
Janji-janji untuk disekolahkan ke luar negeri tidak disiarkan melalui surat kabar, tetapi dari mulut ke mulut yang ditangani oleh Sendenbu (Jawatan propaganda).
Pada masa Jepang, pangreh praja tunduk melaksanakan perintah Sendenbu. Sebagai konsekuensinya, para pangreh praja—dari bupati sampai lurah—harus memberi contoh menyerahkan anaknya.
Mereka tidak boleh hanya berpropaganda, tetapi juga harus jadi suri tauladan. Selain itu, mereka ada juga yang berasal dari perempuan-perempuan desa yang berpendidikan rendah dan atau tidak berpendidikan sama sekali, sehingga tidak mengenal baca tulis.
Kebanyakan mereka ini berasal dari desa, yang secara ekonomi sangat miskin. Sebagian masih gadis—malah ada yang masih di bawah umur, ada juga yang telah bersuami dan punya anak.
Bagaimana perempuan-perempuan itu bisa terjebak menjadi Jugun Ianfu? Tawaran pekerjaan yang dijanjikan oleh Jepang merupakan pola perekrutran yang dominan.
Masalah kelangkaan lapangan pekerjaan sebagai akibat situasi ekonomi yang sulit pada masa Jepang menjadi alasan utama para perempuan mudah dijebak dengan iming-iming mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban hidup keluarga.
Wartawati Belanda, Hilde Janssen, dan satu orang rekannya berburu mencari para Jugun Ianfu untuk mengungkap sejarah kelam mereka yang tidak mendapat tempat dalam sejarah Indonesia. Bukan hal yang mudah, banyak dari mereka yang tidak mau bercerita karena merasa tabu, malu dan tidak mau mengingat masa lalunya yang kelam.
Namun akhirnya selama dua tahun pemburuan, ia berhasil menemukan dan mewawancarai lima puluh nenek mantan Jugun Ianfu yang dirangkum dalam bukunya berjudul Schaamte en Onshuld: Het Verdrongen Oorlogsverleden van Troostmeisjes in Indonesië (Aib tanpa Dosa: Kisah Wanita Budak Seks Perang di Indonesia).
Penderitaan Jugun Ianfu juga diceritakan di buku yang berjudul" Momoye, Mereka Memanggilku". Buku ini merupakan kisah nyata dari seorang korban perbudakan seks Jepang selama berkuasa di Indonesia.
Ia adalah Ibu Mardiyem, salah satu korban kebuasan fasisme Jepang terhadap kaum perempuan yang dipaksa melayani nafsu seksual-nya.
Momoye adalah panggilan Ibu MY sewaktu ia ditempatkan di sebuah asrama di Telawang, Kalimantan, sebuah rumah bordil yang khusus bagi tentara Jepang.
Ada 21 perempuan yang di tempatkan di asrama yang sama dengan tingkat penderitaan yang sama dalam bentuk yang berbeda dengan sang Momoye ( Ibu MY.
Suatu hari di jaman penjajahan di tahun 1942, Mardiyem ditawari main sandiwara oleh seorang Jepang. Waktu itu umurnya baru 13 tahun, ayah dan ibunya sudah meninggal. Kakak yang saat itu tinggal dengannya pun mengizinkan untuk menerima tawaran itu.
Selama tiga tahun Mardiyem dikurung di kamar nomor 11. Siang-malam dia harus melayani birahi tentara Jepang. Waktunya habis dalam kamar “pemerkosaan” itu. Bahkan, untuk makan yang hanya dijatah satu kali sehari pun sering tak sempat.
Bukan hanya kekerasan seksual yang dialami Mardiyem selama tiga tahun itu. Pukulan, tamparan, dan tendangan menjadi makanan sehari-hari. Para tamu ataupun pengelola Ian Jo (tempat kumpul Jugun Ianfu) begitu ringan tangan setiap Mardiyem menolak melayani. Setiap hari Mardiyem harus menjadi Momoye dan dipaksa melayani sedikitnya 5 hingga 10 lelaki.
Kisah masa lalu yang pahit membuat Mbah Mardiyem sempat kehilangan semangat untuk hidup. Penderitaan menyakitkan itu dialami kurang lebih selama 3 tahun.
Ia sempat berkisah saat-saat di mana dia hamil. Saat itu, bayi yang dikandungnya harus mati sia-sia, karena seorang Jugun Ianfu tidak diperbolehkan hamil. Penyiksaan seperti perlakuan ’sadomasokisme' dilakukan tentara Jepang dengan menyiksanya, memukul, menampar, membuat bayi yang dikandungnya keluar dari rahimnya dan meninggal.
(Qur'anul Hidayat)