JAKARTA - Berkenaan dengan lingkaran keluarganya yang beragama Islam, mulai dari enam orang putra putrinya yang beragama Islam, ditambah dengan dua menantunya yang turut beragama Islam, termasuk dengan Sang Permaisuri Ratu Dewi Dwarawati, hal tersebut tentu banyak menghadirkan persoalan pro-kontra di lingkungan istana maupun di daerah di bawah kekuasaan Majapahit.
Misalkan tentang perasaan para pembesar Majapahit atau para nayaka praja di dalam istana yang beragama Hindu Budha melihat keberadaan Sang Permaisuri Ratu Dewi Dwarawati yang seorang muslimah?
Bahkan, ada kritikan yang cukup menggelitik terhadap keberadaan Sang Ratu Permaisuri di Majapahit yang justru dari seorang muslim, yaitu Adipati Ponorogo dengan membuat kesenian reog yang mengilustrasikan seekor harimau disetir oleh burung merak.
Baca juga: Saran Sabda Palon dan Naya Genggong Sikapi Ancaman Kehancuran Kerajaan Majapahit
Kritik itu berupa dadak merak dalam reog di mana kepala harimau (simbol kekuasaan Majapahit) ditunggangi burung merak yang merupakan simbol pesolek atau perempuan. Reog itu ditampilkan di paseban kerajaan Majapahit.
Baca juga: Ketika Sabda Palon dan Naya Gonggong Dapat Firasat Kehancuran Kerajaan Majapahit
Dikutip buku 'Brawijaya Moksa Detik-Detik Perjalanan Hidup Prabu Majapahit', gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa seekor harimau adalah Prabu Brawijaya V, sedang burung merak gambaran Sang Permaisuri Ratu Dewi Dwarawati. Hal ini merupakan simbol bahwa kekuasaan Sang Baginda Raja nampak dikendalikan oleh Sang Permaisuri Ratu Dewi Dwarawati.
Memang, yang namanya pro-kontra tidak mesti dilakukan oleh orang yang berbeda agama atau keyakinan, bahkan yang seagama pun dapat melakukan kritikan secara tajam.
Peranan Ratu Dewi Dwarawati yang begitu dominan terhadap Baginda Raja Majapahit, tidak serta-merta menjadikan kelompok Islam menjadi senang karenanya. Contohnya dengan apa yang ditunjukkan oleh Adipati Ponorogo itu.
(Susi Susanti)