 
                
JAKARTA - Malam itu atau lebih tepatnya 9 Januari 1966, sebuah rumah di Jalan Sam Ratulangi 1, Jakarta Pusat, tampak ramai. Belasan pemuda hilir-mudik, sesekali terdengar percakapan riuh rendah. Ada yang sibuk mengetik, ada yang menggandakan naskah pernyataan di mesin stensilan. Rumah itu markas Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, gabungan sejumlah organisasi mahasiswa dari berbagai kampus di Ibu Kota. Mereka sedang mempersiapkan aksi demonstrasi besar keesokan harinya.
Hari-hari itu, suasana Republik tak menentu. Tiga bulan setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI Angkatan Darat, ketegangan terasa di mana-mana. Sebagian pemimpin Partai Komunis menghilang, puluhan ribu kadernya ditangkap. Tapi pemimpin PKI masih duduk di kabinet dan secara resmi partai itu masih berkibar.
Keesokan harinya, Senin 10 Januari, ribuan mahasiswa memadati kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat. Salah satu pemimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa, Cosmas Batubara, tampak sibuk mengarahkan koleganya mempersiapkan ini dan itu. Sebuah panggung darurat disiapkan di halaman Fakultas Kedokteran UI.
Tepat pukul 08.30, sebuah jip militer merapat di depan gerbang kampus. Dari dalamnya, muncul Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Dua deputinya, Mayor CI Santosa dan Mayor Gunawan Wibisono, juga tampak mendampingi bos mereka.
Kedatangan Sarwo langsung disambut jabat tangan, dan mahasiswa segera berkerumun di sekelilingnya. Setengah jam kemudian, Sarwo Edhie didaulat naik ke atas panggung. Dengan seragam militer yang necis dan rapi, dia tampak percaya diri. Di awal pidato, dia berterima kasih atas undangan mahasiswa dan, sambil bercanda, berterima kasih kepada PKI yang "membuat huru-hara sehingga mahasiswa bisa bersatu kembali".
"Gayanya memang begitu, cepat akrab dengan mahasiswa," kata Fahmi Idris, salah satu pemimpin mahasiswa UI ketika itu seperti dikutip pada buku Sarwo Edhie dan Misteri 1965.
Sarwo lalu bercerita tentang perjalanan RPKAD memburu PKI di Jawa dan Bali, beberapa saat sebelumnya. Di akhir pidato, dia bertanya kepada mahasiswa, "Apakah masih ada yang belum diamankan?"
Ribuan mahasiswa berteriak kompak, "Aidit, Pak!" Sarwo Edhie tersenyum kecil, "Lho, kok, di mana-mana masih banyak orang kangen sama Aidit, ya?" Sebelum gemuruh tawa mereda, Sarwo melanjutkan dengan nada serius, "Kamu tidak usah merisaukan Aidit. Biar dia beristirahat di tempat lain."
Di akhir rapat akbar itu, mahasiswa menyodorkan naskah Tiga Tuntutan Rakyat alias Tritura kepada Sarwo Edhie. Isi Tritura adalah bubarkan PKI, susun kembali Kabinet Dwikora, dan turunkan harga sandang-pangan. "Kalau mahasiswa merasa yakin, saya anjurkan jalan terus. Tritura adalah hati nurani rakyat," kata Sarwo Edhie, disambut sorak-sorai mahasiswa.
Setelah Sarwo Edhie turun dari panggung, massa mahasiswa segera bergerak menuju Sekretariat Negara untuk berunjuk rasa. Di sana, naskah Tritura dibacakan di depan Wakil Perdana Menteri Chaerul Saleh. Mahasiswa juga menyatakan mogok kuliah sampai ketiga tuntutan mereka dipenuhi pemerintah.
Relasi mahasiswa dan tentara bertambah dekat seiring dengan makin seringnya terjadi kericuhan antara massa pendukung Sukarno dan para mahasiswa. Pada bulan-bulan pertama 1966, mahasiswa memang makin sering mengadakan unjuk rasa di depan Istana, dan makin kencang menuntut pembubaran PKI sesuatu yang berulang kali ditolak Presiden Sukarno. Semua aksi mahasiswa itu diam-diam dipantau dan dilindungi RPKAD.
Suasana makin gawat setelah mahasiswa bentrok dengan pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa, pada 24 Februari 1966. Seorang mahasiswa, Arief Rachman Hakim, tewas. "Kami lalu minta RPKAD melatih mahasiswa," kata Fahmi Idris.
Setelah insiden itu, mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman Hakim-sebuah komando aksi yang sebagian anggotanya menerima pendidikan militer. "Kami juga dipinjami pistol," kata Fahmi bangga. Belakangan, nama resimen itu diganti. "Setelah diskusi dengan Pak Sarwo, beliau menyarankan namanya diganti jadi Laskar Arief Rachman Hakim saja," kata Fahmi, yang kemudian menjadi pemimpin pasukan mahasiswa itu.
Laskar Arief Rachman Hakim bergerak menduduki aset-aset negara yang dikuasai kaum komunis: dari kantor pemerintah sampai gedung kedutaan Cina dan kantor berita Xinhua. "Tapi kami tidak menjarah atau merampok," kata Fahmi. Semua aksi ini membuat Sukarno makin murka kepada mahasiswa.
Tak hanya membantu mahasiswa di balik layar, Sarwo Edhie kadang turun sendiri mengawal unjuk rasa. Sambil menyamar, dia memastikan tak ada kelompok yang mengganggu aksi-aksi mahasiswa. Para mahasiswa yang berunjuk rasa tak pernah menyadari kehadiran Sarwo Edhie.
Pada 11 Maret 1966, Soeharto memerintahkan Kemal Idris dan Sarwo Edhie menangkap Wakil Perdana Menteri Soebandrio atau seorang tokoh PKI yang juga tangan kanan Presiden Sukarno. Sebuah pasukan tanpa tanda pengenal dikirim ke Istana Merdeka untuk menyergap Soebandrio seusai sidang kabinet.
Rencana itu rupanya tercium pihak Istana. Cakrabirawa segera mengungsikan Presiden dan dua wakil perdana menteri, Soebandrio dan Chaerul Saleh, ke Istana Bogor. Malamnya, tiga jenderal menyusul ke sana: Pangdam Jaya Brigjen Amir Machmud, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Basuki Rachmat.
Pada saat itulah Sukarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret, yang secara de facto menyerahkan kendali pemerintahan kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Pada hari itu, dua bulan setelah pidato Sarwo Edhie di hadapan ribuan mahasiswa di Salemba, kekuasaan Sukarno resmi dilucuti.
(Khafid Mardiyansyah)