Militansi dan kedisiplinannya kian ditempa selama 3 bulan untuk kemudian menjadi Chudancho (Komandan Kompi, setara Kapten). Pendidikannya diteruskan hingga mencapai tingkatan Daidancho (Komandan Batalion, setara Mayor/Letnan Kolonel).
Usai menjalani gemblengan keras di sekolah perwira PETA di Bogor, lahirlah “Soedirman baru” yang sudah mengerti betul sejumlah metode-metode perang ala Jepang dan menjadi komandan Daidan (Batalyon) di Kroya, Cilacap.
Namun PETA dibubarkan seiring menyerahnya Jepang pada sekutu. Pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945, Soedirman meleburkan dirinya ke Badan Keamanan Rakyat (BKR, cikal bakal TKR/TNI) di Banyumas dengan pangkat Kolonel.
“Prestasi” pertamanya sebagai salah satu perwira tentara republik, adalah sanggup mengklaim sejumlah senjata Jepang setelah melakukan pelucutan tanpa pertumpahan darah di Banyumas. Pelucutan “damai” yang termasuk jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan beberapa tempat lain dengan cara kekerasan.
Namanya kian meroket pasca-Pertempuran Ambarawa 12-15 Desember 1945. Kendati dididik di kemiliteran PETA bentukan Jepang, Pak Dirman tak serta-merta selalu menggunakan taktik Jepang.
Dalam Pertempuran Ambarawa menghajar Inggris, Pak Dirman mengombinasikan taktik modern dengan taktik klasik Kerajaan Majapahit. Jadilah dia menggagas taktik “Supit Urang”. Taktik menekan, menjepit dan menggempur lawan dengan serentak dari berbagai sektor.
Namun sayangnya Soedirman tak berumur panjang. Penyakit TBC yang dideritanya tak kunjung pulih dan terus menderanya saat bergerilya. Soedirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950 atau lima hari setelah genap berulang tahun ke 34.
(Erha Aprili Ramadhoni)