YOGYAKARTA - Serangan mendadak pada 1 Maret 1949 di ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta membuat Jenderal Spoor, panglima tentara Belanda, terkejut.
Saat itu, sekitar 2.000 orang di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto yang saat itu Komandan Wehrkreise III memimpin peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil menduduki kota Yogyakarta.
Dalam sejarah perjuangan Indonesia, peristiwa itu kemudian dicatat sekaligus diglorifikasi sebagai peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Juga dalam produk film dikampanyekan sebagai peristiwa heroik pasukan Janur Kuning.
(Baca juga: Tragedi Kelam Pembantaian Massal Dipicu Dendam Serangan Umum 1 Maret)
Simon Hendrik Spoor tidak menyangka, orang-orang republik Indonesia di bawah komando TNI mampu membuat serangan yang begitu terencana sekaligus terpusat.
Ia melihat TNI telah disokong oleh keraton Yogyakarta. Artinya Sultan Hamengku Buwono IX berada di belakang serangan mendadak yang dahsyat itu.
Sultan yang sejak penangkapan Soekarno, Hatta, dan Sjahrir menolak tawaran berunding dari pihak militer Belanda, telah menyumbangkan seluruh yang dimiliki untuk kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam serangan 1 Maret itu, pasukan TNI berhasil menduduki wilayah kota. Setelah terjadi pertempuran hebat, pada hari itu juga TNI mengosongkan kota Yogyakarta yang sempat beberapa jam dikuasainya. Pasukan TNI memilih melakukan perlawanan gerilya.
“Bagaimanapun kemenangan ada di pihak TNI karena mereka telah menunjukkan bukti kemampuannya yang walaupun kecil, tetapi berhasil. Mereka telah menunjukkan kepada orang Belanda dan pucuk pimpinan politik Republik sendiri bahwa mereka tidak bisa disepelekan,” demikian dikutip dari buku Jenderal Spoor Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Terakhir di Indonesia (2015).
Jenderal Spoor yang sangat kaget menangkap pesan politik dari serangan militer pada 1 Maret 1949 itu. Meski berkuasa, adanya serangan menunjukkan militer Belanda tidak berada dalam situasi yang aman.
Lebih jauh disimpulkan, seluruh dunia menjadi tahu bahwa Belanda yang berhasil menduduki ibu kota Indonesia di Yogyakarta, kenyataanya tidak mampu menjamin keamanan.
“Spoor terkejut hebat hingga tanggal 2 Maret ia terbang ke Yogya dan Semarang untuk mengadakan rapat panjang lebar guna mendapatkan dan memberikan informasi”.
Serangan umum 1 Maret menghadapkan dirinya pada kenyataan, bahwa upaya pasifikasi, yakni mengembalikan situasi aman pasca penguasaan kembali wilayah republik Indonesia, tidak berhasil.
Militer Belanda gagal menanggulangi terjadinya gangguan atau serangan para gerilyawan di berbagai daerah yang disebut Spoor sebagai para gerombolan. Kegagalan upaya pasifikasi juga dipengaruhi minimnya pasukan.
Spoor sejak Januari mengaku sudah melakukan perjalanan 275 kilometer di wilayah Jawa Timur. Sejauh itu ia tidak menjumpai adanya personil polisi yang menjadi pilar pasifikasi. Spoor saat menduduki kembali wilayah republic hanya mengamankan obyek-obyek vital berharga sekaligus mencegah perusakan besar-besaran.
Maklum, pada saat itu para pejuang republik memilih taktik bumi hangus. Aset-aset penting lebih baik luluh lantak dari pada dikuasai kembali oleh pasukan Belanda.
Kegagalan pasifikasi Spoor juga dipengaruhi semakin luasnya dukungan rakyat terhadap TNI. Setiap bulan, 200 personil militer di pihak Belanda tewas. Tidak hanya meninggal dunia akibat tembakan pejuang republik, tapi juga karena kecelakaan dan penyakit.
Pada saat yang sama, tekanan politik dari berbagai pihak untuk mendukung kedaulatan Republik Indonesia semakin menghebat. Het Parool, sebuah surat kabar mingguan di Belanda mendesak diadakan penyelidikan independen atas kekejaman militer Belanda di Indonesia.
Het Parool merupakan media massa yang diterbitkan kaum cendekiawan kiri pada saat Belanda diduduki tentara Nazi Jerman (1940-1945).
Di sisi lain, lantaran ada campur tangan PBB, Pemerintah Belanda memutuskan mengubah kebijakan. Upaya mencaplok kembali Indonesia diubah menjadi jalan perundingan politik. Hal itu yang membuat Jenderal Spoor menjadi galau dan merasa sendirian.
Upaya Spoor mengembalikan kekuasaan Belanda atas Indonesia melalui jalan militer, akhirnya gagal. Pada 27 Desember 1949 Pemerintah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia.
(Fahmi Firdaus )