 
                “Dalam Konvensi Jenewa, semua tawanan perang dilarang untuk disiksa, namun para calon prajurit Komando itu dilatih menghadapi semua hal terburuk di medan operasi,” tulis Pramono Edhie.
Begitu berat syarat dan tes menjadi prajurit komando, sehingga tak sembarang prajurit mampu mencapai nilai standar yang telah ditetapkan, seperti standar fisik 61, tes psikologis prajurit bernilai 70, dan kemampuan menembak dan berenang tanpa henti sejauh 2.000 meter.
“Hanya mereka yang memiliki mental baja yang mampu melalui pelatihan komando,” tutupnya.
Karir militer Pramono Edhie banyak dihabiskan di Korps Baret Merah, Kopassus sama seperti ayahnya Sarwo Edhie Wibowo. Dia mengawali karir sebagai Komandan Peleton Grup I Kopassandha (1980), tahun 1995 dia dipercaya menjadi Komandan Grup I/Kopassus .
Karirnya pun semakin gemilang setelah masa reformasi. Terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden menggantikan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, membuat dia ditunjuk sebagai ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2001. Di tahun yang sama, Pramono melanjutkab Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (Sesko TNI).
Berbagai jabatan strategis pernah dia duduki. Dia ntaranya Wakil Danjen Kopassus pada 2005, Kepala Staf Kodam IV/Diponegoro pada tahun 2007, dan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD pada tahun 2008 hingga tahun 2009. Dia juga pernah menjabat sebagai Pangdam III/Siliwangi dan Panglima Kostrad(Pangkostrad) pada tahun 2010.
Puncak karir lulusan Akabri 1980 ini pada saat Presiden SBY mendapuknya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menggantikan Jenderal George Toisutta yang telah memasuki masa pensiun.
(Qur'anul Hidayat)