JAKARTA - Setelah menyelesaikan operasi pembebasan sandera pesawat Garuda "Woyla" pada 1981, kesadaran untuk dibentuknya detasemen anti teror dalam Kopassus makin terasa.
Hal itu juga didukung pada dasawarsa 1970-1980, di mana kegiatan jaringan teroris internasional pun makin meningkat. Kegiatan mereka sudah tidak bersifat setempat atau dalam negeri saja, melainkan sudah lintas benua dan mulai memasuki kawasan Asia.
Bagai gayung bersambut, para pimpinan ABRI pun menyetujui dibentuknya satu kesatuan baru setingkat detasemen dalam Kopassandha, dengan nama Detasemen 81 Kopassandha.
Komandan pertama dijabat oleh Mayor Inf. Luhut B. Panjaitan dan Wakil Komandan adalah Kapten Inf. Prabowo Subianto. Kedua pejabat ini sebelumnya telah mendalami penanggulangan teror di Grenzschutzgruppe 9 (GSG-9), Jerman.
Sekembalinya ke Tanah Air, mereka ditugasi untuk melakukan seleksi sekaligus melatih calon prajurit untuk bergabung dalam Detasemen 81. Demikian dilansir dari Buku Kopassus untuk Indonesia, Profesionalisme Prajurit Kopassus.
Personelnya terdiri dari perwira, bintara, dan tamtama dari Grup 1-4 yang masuk secara suka rela, namun tetap harus memenuhi kriteria dan seleksi yang amat ketat.
Terbentuknya Detasemen/Kopassandha seakan-akan meniadi langkah awal dari perubahan dalam tubuh Kopassandha.
Dalam sejarahnya, Detasemen Khusus 81 Kopassandha atau kini dikenal dengan Sat-81/Gultor Kopassus dikenal dengan pasukan elite penanggulangan teror Korps Baret Merah telah banyak menorehkan tinta emas, baik operasi militer maupun operasi kemanusiaan

Gelak Tawa Prabowo dan Hendropriyono saat Bernostalgia, Terkenang saat di Baret Merah Kopassus
Mulai dari pembebasan sandera penumpang Pesawat Garuda DC-9 di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand; Operasi Mapenduma yang membebaskan sandera 9 peneliti asing yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz di Papua pada 1996; Operasi pembebasan KMV Sinar Kudus dari perompak di Somalia pada 2011; Operasi pembebasan 347 sandera di Tembagapura, Papua pada 2017; dan operasi kemanusiaan lainnya.