PANGERAN Diponegoro pernah tertembak oleh pasukan Belanda. Dalam kisahnya, peluru tak tembus ke dadanya melainkan pecah berhamburan.
Peristiwa itu terjadi dalam pertempuran di Gawok pada 15 Oktober 1826. Diponegoro tertembak dua kali. Namun, di tubuhnya tak ditemukan bekas luka tembak.
Kisah tertembaknya Pangeran Diponegoro dituliskan dalam babad Diponegoro. Saat itu Pangeran sedang bersama Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.
"Tiba-tiba sebuah tembakan mengenai dadanya, peluru itu pecah berhamburan. Kuda P.Diponegoro lalu berlari menuju tempat lain," ujar Roni Sodewo, satu di antara keturunan Pangeran Diponegoro.
"Seorang perwira pasukan Belanda dengan P.Diponegoro sedang duduk di tempat penahanannya di Makassar. Saat itu, cuaca panas terik, Diponegoro melepas bajunya. Perwira tadi melihat tidak ada bekas luka tembakan di badan Diponegoro,tubuhnya bersih. Dia teringat pembicaraan dengan Jenderal De Kock bahwa tubuh Diponegoro dari besi," imbuh Roni.
Namun, kabar Pangeran Diponegoro kebal tembak ternyata tak membuat Belanda percaya begitu saja. Sebagaiman diungkap dalam Buku karya Peter Carey berjudul Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).
Pangeran Diponegoro juga licin bak belut karena sering lolos dari penyergapan. Suatu ketika, Pangeran Diponegoro menyusul Basyah Mertonegoro ke Tanah Panjer melalui Bulu Bandung.
Kuda Jaya Capa seolah tidak mau bergerak dan kemudian ditarik oleh seorang Gamel (Penuntun kuda) bernama Sumatali.
Keluar dari Bulu Bandhung Pangeran dicegat oleh pasukan Belanda dipimpin oleh Magilis. Para pembesar prajurit menyarankan agar pangeran kembali ke Bulu Bandhung, sebab jumlah pasukan lawan sangat besar.
Pangeran Diponegoro bergerak naik, sementara prajurit-prajuritnya mengikuti sambil memberikan serangan balasan. Banyak kuda yang tertinggal yang di bawah, sementara Pangeran Diponegoro telah jauh di depan dengan mengendarai Wijaya Krisna masuk ke dalam hutan.
Pasukan Diponegoro terpecah, Pangeran Diponegoro terus dikejar dan masuk ke dalam jurang, tetapi terus dihujani tembakan tapi luput. Pangeran Diponegoro hanya bersama Diponegoro Anom, dan Pangeran Abdulrahim.
Adipati, Lurah Kasim Jamanggala, Banteng Wareng dan Joyo Suroto menyusul sambil menangis menanyakan, mengapa Pangeran Diponegoro memisahkan diri dari barisan sehingga tidak bisa dijaga oleh para prajurit.
Tak lama pasukan Belanda sudah menyusul ke dasar jurang sehingga Adipati memaksa Pangeran Diponegoro untuk berlari dengan cara menarik tangan Pangeran Diponegoro dibantu oleh Pangeran abdulrahim. Segera mereka masuk ke dalam hutan lebat.
Dalam Perang Jawa, Diponegoro mampu membuat Belanda rugi besar. Sekitar 25 Juta Golden Belanda waktu itu habis untuk membiayai perang melawan Diponegoro.
“Sebanyak 15.000 tentara Belanda juga tewas, sedangkan pejuang bangsa yang gugur syuhada 200.000 orang," ujarnya.
Pangeran Diponegoro wafat pada 8 Januari 1855, persis saat matahari terbit, pukul 06.30 pagi.
Dikutip Sagimun MD dalam Pahlawan Dipanegara Berjuang (1965), Pangeran Diponegoro meninggal karena “kondisi fisik yang sudah menurun lantaran usia lanjut."
Peter Carey mengutip beberapa surat kabar seperti Javasche Courant (03/02/1855) dan Niuew Rotterdamsche Courant (02/04/1855), mengenai pemakaman Pangeran Diponegoro. Pemakaman dilakukan dengan hak-hak penuh menurut agama Islam dan dengan penghormatan yang pantas sesuai martabatnya yang terlahir sebagai bangsawan.
Pangeran Diponegoro dimakamkan dekat pusara putra keduanya Sarkumo sesuai keinginan almarhum.
(Artikel ini pernah ditulis Doddy Handoko)
(Arief Setyadi )