Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Sosok Diduga Otak G30SPKI, Biro Rahasia, dan Hukuman Mati

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Minggu, 10 September 2023 |05:10 WIB
Sosok Diduga Otak G30SPKI, Biro Rahasia, dan Hukuman Mati
Sjam Kamaruzzaman diduga sebagai otak perencana G30SPKI. (Ist)
A
A
A

SJAM Kamaruzzaman disebut-sebut sebagai otak perencana Gerakan 30 September 1965 yang kemudian dikenal sebagai G30SPKI. Ia juga disebut dekat dengan pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipo Nusantara (DN) Aidit.

Buku Manai Sophiaan berjudul Kehormatan Bagi yang Berhak, Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI menulis soal Sjam Kamaruzzaman.

Disebutkan, sosok kelahiran 1924 itu aktif dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang selama di Yogyakarta.

Anak Penghulu Pengganti di Tuban ini pernah aktif dalam kelompok pathuk di Yogyakarta saat masa revolusi 1945. Di sana Sjam bertemu dan terlibat dalam jaringan Soeharto. Aktivitas Sjam di Pathuk kemudian dikaitkan sebagai mata-mata yang bekerja untuk Soeharto dalam menghancurkan PKI dan menggulingkan Soekarno dan kursi kekuasaan.

Pada 1948 saat terjadi perpecahan di Partai Sosialis antara Sutan Sjahrir dan Amir Syarifuddin, Sjam berpihak ke kubu Amir Syarifuddin. Ia pun terlibat dalam peristiwa di Madiun yang menewaskan ribuan anggota dan simpatisan PKI.

Ia lolos dari kejadian itu. Dia lalu menyusup ke Jakarta dan mengorganisir buruh pelabuhan dengan mendirikan Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayanan (SBPP) di Tanjung Priok.

Selain Sjam, tokoh Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berhasil lolos dalam pembersihan itu adalah DN Aidit dan Moh Lukman. Kedua tokoh FDR ini lolos dari Madiun dengan menyusup kapal yang berangkat menuju ke Tanjung Priok.

Dengan menyamar sebagai penumpang gelap dari Vietnam, Aidit dan Lukman akhirnya ditangkap setibanya di Tanjung Priok karena tidak bisa menunjukkan paspor. Namun, berkat kelihaian Sjam, keduanya bisa dibebaskan dari penahanan.

Keberhasilan Sjam membebaskan Aidit dan Lukman tidak dilupakan oleh Aidit. Saat Aidit dan Lukman mengambil alih kepemimpinan PKI dari tangan Alimin dan Tan Ling Djie, dia merangkul Sjam ke kelompoknya.

Kedekatan Aidit dengan Sjam sempat menimbulkan polemik. Tokoh PKI angkatan tua yang lebih mengenal Sjam menilai, dia sangat berbahaya bagi partai. Sifat Sjam yang suka membual, agresif dan tidak sabar dinilai sangat berbahaya.

Namun, Sjam merupakan sahabat Aidit. Kepadanya, Aidit bahkan menyerahkan kepemimpinan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Tidak hanya itu, Aidit bahkan dikabarkan menyekolahkan Sjam ke Republik Rakyat China (RRC). Pengiriman Sjam ke RRC untuk mendalami pengetahuannya tentang strategi militer.

Pengalaman Sjam di bidang kemiliteran pada masa Revolusi 1945 saat memimpin Laskar Tani membuatnya dipercaya untuk menjalin hubungan dengan militer.

Sekembalinya ke Tanah Air dari RRC, Sjam dimasukkan ke Komite Militer PKI yang kemudian berganti nama menjadi Biro Chusus (BC). Dalam biro ini, Sjam memiliki kekuasaan yang sangat luas dan besar.

Pembentukan Komite Militer dan BC PKI ini sangat rahasia. Di kalangan anggota PKI dan simpatisan PKI sendiri tidak banyak yang mengetahui keberadaannya. Dalam biro ini, Sjam hanya berhubungan dengan Aidit. Dalam partai komunis dan partai lainnya, keberadaan BC bukan suatu hal yang aneh.

Dalam setiap partai, keberadaan biro ini bisa dipastikan selalu ada dan memainkan peran penting yang menentukan arah partai. Biro Chusus biasanya bertalian erat dengan kinerja intelijen pihak lain, dan harus dipimpin oleh orang yang benar-benar bisa dipercaya serta diandalkan.

Pada biro inilah kunci keberhasilan dari suatu operasi partai dijalankan. Seperti namanya, anggota biro ini tidak bisa diketahui sembarang orang kecuali ketuanya sendiri. Bahkan, Ketua CC PKI DN Aidit tidak mengetahui hirarki dalam BC. Demikian biro ini bekerja sangat rahasia.

Menurut keterangan anggota BC, diketahui BC Pusat berada di Jakarta. Pimpinan biro ini terdiri dari Sjam sebagai ketua, Pono sebagai wakil, Bono sekretaris, Wandi bendahara dan Hamim sebagai pelatih kader BC.

Kelima pimpinan biro itu tidak dikenal sebagai anggota PKI. Meski mereka adalah para kader PKI yang militan, secara organisasi mereka sengaja dipecat dan dijelek-jelekkan sehingga hubungan mereka dengan anggota partai menjadi jauh.

Antara anggota BC pusat, provinsi, dan daerah pun mereka tidak saling mengenal satu dengan yang lain, kecuali para anggota Comite Daerah Besar (CDB). Bahkan istri anggota BC di rumah tidak boleh terlibat dalam PKI.

Sjam memaksa istrinya untuk mengundurkan diri dari aktivitas Barisan Tani Indonesia (BTI) dan tidak boleh melakukan aktivitas revolusioner. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kecurigaan pihak luar dan menjaga kerahasiaan BC.

Dalam sebulan, kelima anggota BC Pusat bertemu. Untuk menjaga keamanan, mereka sengaja tidak memiliki kantor dan bertemu di sembarang tempat sesuai kesepakatan.

Dalam pertemuan itu juga tidak ada rapat-rapat. Setiap bertemu, anggota BC Pusat akan saling bertukar informasi dan perkembangan tugasnya masing-masing. Hasil pertemuan itu lalu diberikan kepada Aidit.

Dari BC Pusat, hanya Sjam yang boleh dan bisa berhubungan dengan Aidit. Selain pertemuan bulanan, anggota BC Pusat juga menggelar pertemuan-pertemuan tidak sebagai kelompok.

Biasanya untuk bertemu satu sama lain atau memenuhi kontak tertentu, mereka tidak akan menunggu lebih dari 10 menit. Jika dalam waktu 10 menit mereka tidak datang, keterlambatan itu diartikan sebagai kemungkinan orang yang ditunggu telah tertangkap.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat melihat anggota BC Pusat ini sebagai pengusaha biasa.

Kendati mereka setiap saat datang ke rumah Aidit dan kantor CC PKI, agen-agen intelijen Angkatan Darat (AD) yang memantau kantor CC PKI dan rumah Aidit tidak akan menyadari kehadiran mereka yang datang sebagai orang biasa. Hal ini terbukti dengan tidak adanya yang memantau aktivitas Sjam selama Agustus hingga September 1965, di mana aktivitas pertemuan Sjam dengan Aidit semakin ditingkatkan guna mematangkan perencanaan G30S.

Anggota inti BC Pusat yang terdiri dari Sjam, Pono, dan Bono, adalah orang-orang yang bertanggung jawab dalam memelihara hubungan dengan perwira-perwira militer. Mereka masing-masing memiliki kartu identifikasi resmi intelijen militer.

Dengan identitas ganda tersebut, mereka bisa dengan leluasa keluar masuk fasilitas kemiliteran di Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan kepolisian. Ketiganya bahkan membangun kontaknya sendiri-sendiri.

Dalam persidangan Mahmilub tahun 1967, Sjam menceritakan bagaimana BC merekrut para perwira militer. Tujuan dari perekrutan itu bukan untuk menjadikannya sebagai anggota PKI, tetapi untuk membuat mereka bertindak atas nama PKI.

Seperti yang terjadi pada Desember 1964, ketika Waperdam III Chaerul Saleh menuduh PKI mempunyai rencana merebut kekuasaan negara tahap demi tahap. Tuduhan ini berdasarkan sebuah dokumen yang memaparkan rencana rahasia tersebut. Akibat tuduhan Chaerul Saleh yang dekat dengan Partai Murba itu Aidit diperiksa oleh polisi militer.

Kemudian Aidit menyuruh Sjam agar memerintah BC untuk menggagalkan perkara itu dan berhasil cemerlang dengan pembebasan Aidit. Aidit juga meminta kepada BC agar mengontak jaringan militernya untuk membayangi pengawalan yang dilakukan militer saat dirinya bepergian ke luar kota. Aidit mengaku tidak percaya dengan pengawalan militer yang diberikan kepadanya.

Salah satu perwira yang berhasil direkrut BC adalah Supardjo. Dengan bantuan PKI, Supardjo menggelar taktik "Pagar Betis" tahun 1960 dalam memberantas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan berhasil dengan gemilang.

Menurut Heru Atmodjo, Supardjo terkesan dengan Sjam karena mengira dia pernah dikirim ke RRC sebagai komisaris politik untuk pasukan militer. Namun, informasi ini dibantah anggota BC yang mengenal Sjam. Menurutnya, Sjam tidak pernah mengikuti latihan militer di RRC. Kepergian Sjam ke RRC dikatakannya hanya untuk keperluan berobat.

Namun kesan Sjam sebagai wakil PKI telanjur membuatnya terkesan. Benedict Anderson yang menyaksikan sidang Mahmilub perkara Sjam tahun 1967 menyatakan, dirinya tidak bisa percaya bahwa Sjam merupakan kader PKI karena retorikanya datang langsung dari aktivisme nasionalis tahun 1940 akhir.

Sebagai anggota PKI, Sjam juga diketahui tidak pernah membaca buku-buku Marxisme-Leninisme. Prinsipnya hanya satu, mengabdi kepada Aidit. Dia melihat Aidit sebagai Stalin dan Mao versi Indonesia yang diagung-agungkan.

Menurut Sjam, ideologi partai adalah cinta kepada partai. Saat PKI telah hancur pada tahun 1967, Sjam kembali ke sifat oportunisnya. Dia berusaha menyalamatkan dirinya sendiri dan menghianati kawan-kawannya sendiri.

Dalam kesaksiannya, Sjam menyebut dua perwira militer yang menjadi bagian dari BC. Salah seorang dari mereka akhirnya ditangkap dan dipenjarakan akibat pengakuan dari Sjam. Dia juga menyebut lebih banyak nama lagi.

Dengan memberikan informasi yang dibutuhkan dan bukan yang benar, Sjam berharap hidupnya akan lebih panjang. Setelah 10 kali disidang, pengadilan menjatuhkan vonis mati kepadanya tahun 1968 dan baru tahun 1986 hukuman itu dilakukan.

Diolah dari berbagai sumber :

Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang Berhak, Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI, Visimedia, Cetakan Kedua 2008.

Murad Aidit, Aidit Sang Legenda, Panta Rei, Cetakan Pertama, September 2005.

John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Hasta Mitra, Cetakan I 2008.

Pater Dale Scott, Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno 1965-1967, Vision 03, Cetakan Kedua September 2003.

(Erha Aprili Ramadhoni)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement