Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

5 Tokoh Militer yang Sempat Jadi Tentara Kerajaan Hindia Belanda KNIL Sebelum Bela Indonesia

Qur'anul Hidayat , Jurnalis-Senin, 06 November 2023 |16:33 WIB
5 Tokoh Militer yang Sempat Jadi Tentara Kerajaan Hindia Belanda KNIL Sebelum Bela Indonesia
Soeharto. (Foto: Dok Ist)
A
A
A

JAKARTATentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) pernah bercokol di bumi Nusantara. KNIL bubar pada 26 Juli 1950 atau setelah 120 tahun berdiri, berdasarkan surat keputusan kerajaan Nomor K-309 sebelumnya tertanggal 20 Juli 1950.

KNIL dibentuk tak lama pasca-Perang Diponegoro atau Perang Jawa di abad 19. Gubernur Jenderal van den Bosch memprakarsai berdirinya KNIL pada 4 Desember 1830, tiga tahun setelah rampung Perang Diponegoro.

Satuan ini awalnya dinamakan “Algemeene Orders voot het Nederladsch-Oost-Indische Leger”. Sementara predikat “Koninklijke” baru disarankan Raja Willem I sebagai kepanjangan tangan dalam hal militer buat Kerajaan Belanda. Pun begitu, penggunaan sebutan KNIL sendiri baru terjadi atas inisiatif Hendrik Colijn pada 1933.

Nyatanya, sejumlah petinggi atau tokoh militer di Tanah Air pernah menjadi tentara KNIL. Siapa saja mereka?

1. Soeharto

Soeharto memulai karier politiknya sebagai seorang perwira TNI pada 5 Oktober 1945. Selama di kemiliteran, dia sempat menjadi sersan tentara KNIL, komandan PETA, komandan resimen berpangkat Mayor, dan komandan Batalyon berpangkat Letkol. Karier tertinggi Soeharto di militer adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan berpangkat jenderal.

 BACA JUGA:

Situasi politik Indonesia semakin memburuk setelah terjadinya peristiwa G-30-S/PKI. Pada bulan Maret 1967, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS yang menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden dan dikukuhkan sebagai Presiden RI kedua.

Soeharto memimpin negara selama lebih dari tiga dekade melalui enam kali Pemilu, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Pada periode kelima kepresidennya, Soeharto sudah berniat untuk turun dari tampuk kekuasaan.

2. Abdul Haris Nasution

Jenderal Besar TNI (Purn.) Dr. (H.C.) Abdul Haris Nasution lahir 3 Desember 1918, adalah seorang jenderal berpangkat tinggi dan politikus Indonesia. Ia bertugas di militer selama Revolusi Nasional Indonesia dan ia tetap di militer selama gejolak berikutnya dari demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin.

Setelah jatuhnya Presiden Soekarno dari kekuasaan, ia menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) di bawah presiden Soeharto. Lahir dari keluarga Batak Mandailing, di desa Hutapungkut, ia belajar mengajar dan mendaftar di akademi militer di Bandung.

 BACA JUGA:

Ia menjadi anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), tetapi setelah invasi Jepang, ia bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Setelah proklamasi kemerdekaan, ia mendaftar di angkatan bersenjata Indonesia yang masih muda, dan bertempur selama Revolusi Nasional Indonesia. Pada tahun 1946, ia diangkat menjadi komandan Divisi Siliwangi, unit gerilya yang beroperasi di Jawa Barat. Setelah revolusi nasional berakhir, ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.

3. Sultan Hamid II

Sultan Hamid II, lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (12 Juli 1913 – 30 Maret 1978) adalah perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Ia memiliki darah keturunan Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda kelahiran Surabaya, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Belanda.

Syarif Abdul Hamid menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Setelah lulus pada tahun 1937, ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karier militernya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lain di Pulau Jawa

4. Mangkunegara VII

Mangkunegara VII terlahir dengan nama Raden Mas Soerjosoeparto. Ia adalah anak ketujuh atau anak lelaki ketiga dari 28 bersaudara anak-anak dari Mangkunegara V.

Anak putri tertua Mangkunegara VII, yaitu BRAy. Partini, menikah dengan P.A. Husein Djajadiningrat, seorang sejarawan dan ningrat dari pihak Kesultanan Banten, yang pada saat itu telah dilikuidasi oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda.

Ia adalah tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan penasihat di organisasi pelajar Jong Java. Pada tahun 1933, ia memprakarsai didirikannya radio pribumi pertama di Indonesia yaitu SRV (Solosche Radio Vereniging) yang memancarkan program-program dalam bahasa Jawa.

Selain itu ia juga seorang perwira KNIL dengan jabatan Kolonel pada masa hidupnya, dengan jabatan ini ia juga merangkap sebagai komandan Legiun Mangkunegaran, sebuah tentara kecil yang terdiri dari prajurit Mangkunegaran.

Mangkunegara VII adalah seorang penguasa yang dianggap berpandangan modern pada zamannya. Ia berhasil meningkatkan kesejahteraan di wilayah Praja Mangkunegaran melalui usaha perkebunan (onderneming), terutama komoditas gula. Mangkunegara VII juga seorang pencinta seni dan budaya Jawa, dan terutama mendukung berkembangnya musik dan drama tradisional.

5. Raden Oerip Soemohardjo

Jenderal TNI (Anumerta) Raden Oerip Soemohardjo lahir 22 Februari 1893 adalah seorang jenderal dan Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia.

Lahir di Purworejo, Hindia Belanda, Oerip kecil adalah anak nakal yang sudah memperlihatkan kemampuan memimpin sejak usia dini. Orangtuanya menginginkan dirinya untuk mengikuti jejak kakeknya sebagai bupati, oleh sebab itu, setamat sekolah dasar, ia dikirim ke Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi (OSVIA) di Magelang.

Ibunya wafat saat ia menjalani tahun kedua di sekolah, dan Oerip berhenti sekolah untuk mengikuti pelatihan militer di Meester Cornelis, Batavia (kini Jatinegara, Jakarta). Setelah lulus pada tahun 1914, ia menjadi letnan di KNIL. Bertugas selama hampir 25 tahun, ia ditempatkan di tiga pulau berbeda dan dipromosikan beberapa kali, dan akhirnya menjadi perwira pribumi dengan pangkat tertinggi di KNIL.

(Qur'anul Hidayat)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement