TEL AVIV - Ariel Sharon adalah seorang jenderal dan politikus Israel yang menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Israel dari Maret 2001 hingga April 2006.
Lahir di Kfar Malal, Palestina dari imigran Yahudi Rusia, Sharon naik pangkat di Angkatan Darat Israel sejak pembentukannya pada tahun 1948, berpartisipasi dalam perang Palestina tahun 1948 sebagai komandan peleton Brigade Alexandroni dan terlibat dalam beberapa pertempuran.
Sharon memainkan peran kunci dalam pembentukan Unit 101 dan operasi pembalasan, termasuk pembantaian Qibya tahun 1953, serta dalam Krisis Suez tahun 1956, Perang Enam Hari tahun 1967, Perang Atrisi, dan Perang Yom Kippur tahun 1973.
Saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan, ia memimpin Perang Lebanon tahun 1982.
Sebuah penyelidikan resmi menyimpulkan bahwa dia bertanggung jawab secara pribadi atas pembantaian pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, yang membuatnya dikenal sebagai "Penjagal Beirut" di kalangan orang Arab.
Rakyat Palestina menyambut gembira hari kematiannya saat 11 Januari 2014. Pasalnya, selain ia dikenal sebagai Penjagal Beirut, Sharon juga dianggap sebagai sosok pembantai dan penjahat perang bagi warga Palestina.
Dilansir dari berbagi sumber, inilah 5 kekejaman Ariel Sharon kepada rakyat Palestina.
1. Pembantaian Sabra dan Shatila
Pembantaian Sabra dan Shatila merupakan kejadian pembunuhan antara 460 hingga 3.500 warga sipil, terutama warga Palestina dan Syiah Lebanon, yang terjadi pada tahun 1982 di kota Beirut selama Perang Saudara Lebanon.
Milisi Kristen utama Lebanon, yang dipimpin oleh Elie Hobeika, melaksanakan serangan tersebut dengan melibatkan Pasukan Lebanon.
Mulai dari sekitar pukul 18:00 pada 16 September hingga pukul 08:00 pada 18 September, Pasukan Lebanon melakukan pembantaian sementara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengelilingi kamp Palestina.
IDF memerintahkan milisi Kristen untuk membersihkan pejuang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari Sabra dan Shatila sebagai bagian dari operasi lebih besar Israel menuju Beirut barat.
Meskipun IDF mendapat laporan kekejaman selama pembantaian, mereka tidak mengambil langkah efektif untuk menghentikannya.
Pada bulan Februari 1983, pemerintah Israel membentuk Komisi Kahan untuk menyelidiki penyebab dan keadaan pembantaian Sabra dan Shatila.
Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa personel militer Israel gagal mengambil tindakan serius untuk menghentikan pembunuhan, meskipun mengetahui tindakan milisi Kristen tersebut.
Komisi Israel menyimpulkan bahwa IDF secara tidak langsung bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan memaksa Ariel Sharon, mantan menteri pertahanan Israel, untuk mengundurkan diri karena dianggap "mengabaikan bahaya pertumpahan darah dan balas dendam" selama pembantaian.
2. Pembantaian Qibya
Pembantaian Qibya terjadi dalam selama Operasi Shoshana pada bulan Oktober 1953, ketika pasukan Israel di bawah pimpinan Ariel Sharon menyerang desa Qibya di Tepi Barat, yang pada saat itu berada di bawah kendali Yordania.
Serangan tersebut menyebabkan kematian lebih dari enam puluh sembilan warga sipil Palestina, dengan dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak. Selain itu, empat puluh lima rumah, sebuah sekolah, dan sebuah masjid juga hancur akibat serangan tersebut.
Pemicu serangan ini adalah serangan lintas batas dari Tepi Barat, dan Israel menyatakan bahwa pembantaian Qibya merupakan respons terhadap serangan Yahudi yang menewaskan seorang wanita Israel beserta dua anaknya.
Tindakan Israel tersebut mendapat kecaman dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Dewan Keamanan PBB, dan komunitas Yahudi di seluruh dunia.
3. Pembatasan Gerak dan Akses bagi Warga Palestina
Ariel Sharon dikenal dengan kebijakan keamanan yang kontroversial, termasuk pembatasan gerak dan akses bagi warga Palestina.
Peningkatan checkpoint, dinding pemisah, dan kontrol ketat atas kegiatan sehari-hari warga Palestina telah menjadi sumber ketidakpuasan dan ketegangan di antara populasi tersebut.
Sejauh 90 mil dari tembok pemisah di bagian utara telah dibangun, dan kabinet Israel telah menyetujui konstruksi bagian selatan sepanjang 228 mil.
Menurut laporan PBB, kedua bagian penghalang ini akan mengisolasi 274.000 warga Palestina di wilayah yang seperti kantong kecil.
Selain itu, 400.000 warga Palestina tambahan akan mengalami pembatasan akses ke lahan pertanian, pekerjaan, sekolah, dan fasilitas kesehatan yang berada di bawah kendali militer Israel.
4. Perang Lebanon tahun 1982
Perang Lebanon tahun 1982, yang disebut sebagai Operasi Perdamaian untuk Galilea oleh pemerintah Israel, yang kemudian dikenal sebagai Perang Lebanon atau Perang Lebanon Pertama di Israel, dan di Lebanon dianggap sebagai "invasi," dimulai pada 6 Juni 1982.
IDF menginvasi selatan Lebanon, memicu serangkaian serangan dan pertempuran balasan antara PLO di Lebanon selatan dan IDF, yang menyebabkan korban sipil di kedua sisi perbatasan.
Menurut Avi Shlaim, dalang di balik invasi Israel ke Lebanon adalah Menteri Pertahanan Ariel Sharon.
Salah satu tujuannya adalah menghancurkan infrastruktur militer PLO di Lebanon dan melemahkan organisasi politiknya, dengan harapan memudahkan penyerapan Tepi Barat oleh Israel.
Tujuan kedua adalah mendirikan pemerintahan Maronit di Lebanon yang dipimpin oleh Bashir Gemayel dan mencapai perjanjian damai antara kedua negara. Tujuan ketiga adalah mengusir Tentara Suriah dari Lebanon.
5. Kebijakan menghancurkan rumah warga Palestina
Selama masa pemerintahannya sebagai perdana menteri, seperti sejarahnya sebelumnya, dicirikan oleh perluasan pemukiman Israel yang signifikan dan tindakan yang melanggar hukum internasional.
Sharon memimpin periode yang melihat ekspansi pemukiman Israel mencapai tingkat yang dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional, melebihi bahkan era pemerintahan Begin.
Selain dari pembangunan pemukiman, kebijakannya juga melibatkan penghancuran rumah-rumah warga Palestina dalam skala besar. Saat menjabat sebagai perdana menteri, ia menetapkan kebijakan penghancuran rumah bagi warga Palestina yang terlibat dalam serangan terhadap warga Israel.
Kebijakan ini telah mendapat kecaman dari organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch dan Amnesty International, yang menyatakan bahwa ini merupakan bentuk hukuman kolektif dan dianggap ilegal menurut norma hukum internasional.
(Susi Susanti)