JAKARTA - Mengulik kisah akhir hayat Soe Hok Gie yang meninggal di Gunung Semeru. Dia lahir di Kebon Jeruk, Jakarta, 17 Desember 1942 yang dibesarkan di rumah kedl bersama orangtuanya.
Adapun Soe Hok Gie merupakan aktivis keturunan Indonesia-Tionghoa yang menentang keras kediktatoran Presiden Soeharto dan Soekarno.
Berikut kisah akhir hayat Soe Hok Gie yang meninggal di Gunung Semeru:
Soe pandai membaca sejak dini. Ketika masih di bangku pendidikan dasar, Soe mulai membaca karya sastra serius, termasuk karya Pramoedya Ananta Toer. Tulisan Sutan Sjahrir yang berjudul Renungan Indonesia menarik perhatiannya dan mendorong ketertarikannya pada Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibentuk Sjahrir.
Bulan September 1961 Soe diterima di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah. Masuknya Soe ke universitas dan partisipasinya dalam komunitas intelektual menambah dimensi baru bagi kesadaran politiknya.
Maret 1963, Soe masuk dalam kepemimpinan pusat LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang kemudian berganti nama menjadi Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa.
Selama dua tahun berikutnya, Soe aktif di seksi perencanaan dan penelitian lembaga ini. Ia pun ditunjuk sebagai anggota redaksi Celora Minggu, sebuah terbitan mingguan yang diterbitkan yayasan swasta untuk mendukung LPKB.
Organisasi ini mengantar Soe bertemu Soekarno, 22 Februari 1963. Pertemuan yang begitu memuakkan dan menambah kebencian dalam dirinya. September 1964 Soe meraih gelar sarjana muda dengan skripsi berjudul Di Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekrzt Islam 1917-1920.
November 1964, Mapala Fakultas Sastra VI terbentuk, dan Soe menjadi bagian di dalamnya. Dinihari 30 September 1965, Soe dan teman-teman Mapala-nya meninggalkan Jakarta menuju Jawa Tengah untuk hiking ke Merapi, ketika Gerakan 30 September terjadi.
Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung Semeru setelah keracunan gas gunung tertinggi di Pulau Jawa tersebut. Ia meninggal bersama rekannya Idhan Lubis.
Soe Hok Gie dalam catatan harian yang kemudian dibukukan memang bercita-cita menaklukkan puncak Semeru atau Mahameru. Ketika cita-citanya itu tercapai, ia justru meregang nyawa.
Gie sendiri banyak dikenang sebagai aktivis yang mengkritik lewat tulisan serta gerakan. Karya-karya tulisan Gie banyak yang dibukukan dan masih menjadi panduan bagi aktivis saat ini.
(Rina Anggraeni)