Mengenai regulasi perdagangan karbon, Menteri Siti menjelaskan, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 telah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon dan tata cara teknisnya juga telah diatur dalam aturan pelaksanaan dengan Peraturan Menteri LHK. Dalam Perpres 98 telah diatur tata cara perdagangan karbon baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.
Skema-skema perdagangan itu mencakup cap and trade, carbon offset, perdagangan emisi, result based payment serta pungutan atas karbon (tentang pungutan atau pajak karbon belum diatur secara rinci). Sedangkan skema karbon offset, perdagangan emisi serta result based payment telah diatur dan diantaranya sudah beroperasi dan telah ada kinerja yang dihasilkan.
“Tidak boleh ada penyimpangan dari original intention tentang pengaturan nilai ekonomi karbon atas upaya bersama dalam kerja-kerja penurunan emisi karbon Indonesia, yaitu guna memenuhi komitmen Negara RI kepada masyarakat global, berupa penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui penetapan NDC, serta tentu saja ada nilai insentif yang bisa diterima oleh semua stakeholder penyelenggara penurunan emisi karbon,” ujar Menteri LHK.
Ditegaskan Menteri Siti, tuntunan teknis, aturan dan ketentuan tentang perdagangan karbon, yang juga adalah sumber daya alam, sudah ada prinsip-prinsipnya dalam pakem mandat UUD 1945, demikian pula dalam hasil-hasil keputusan atas decission CMA di berbagai COP UNFCCC. Bila diikuti dengan cermat, sangat jelas arah implementasinya sejak COP UNFCCC Polandia dengan tema
"Climate Rule Book". Indonesia termasuk negara dengan kemajuan yang cukup berarti dalam aksi iklim, terutama dengan Agenda Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, dimana sebanyak 60 % dari emisi GRK Indonesia berasal dari sektor kehutanan
Menyinggung tentang insentif perdagangan karbon, Menteri Siti Nurbaya menyatakan, adalah mutlak gambaran bahwa langkah aksi iklim untuk penurunan emisi GRK, serta untuk kelestarian alam harus embedded dengan upaya-upaya membangun kesejahteraan masyarakat. Artinya dari setiap kerja masyarakat, harus ada penghasilan yang didapat sebagai reward. Dalam pengaturan secara administratif seperti ini dikenal dengan istilah Distribusi Pendapatan.
Dari hasil reward atau perdagangan karbon harus diatur jelas, mana yang menjadi pendapatan negara (pendapatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah), pendapatan bagi pelaksana operasional, seperti dunia usaha dan kelompok masyarakat, termasuk pendapatan bagi masyarakat sebagai upah atau sebagai penghargaan. Semua ini harus diatur dengan baik. Pengaturan seperti ini harus sistematis, komprehensif dan berkaitan satu sama lain antar kebijakan (dalam hubungan kausalitas antar kebijakan). Hal-hal seperti itu, hanya bisa dilakukan oleh Pemerintah.
(Khafid Mardiyansyah)