HARI ini 54 tahun lalu Presiden pertama Indonesia Soekarno meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Sang Proklamator Kemerdekaan RI itu wafat dalam usia 69 pada Minggu, 21 Juni 1970 sekitar pukul 07.07 WIB.
Soekarno mengalami komplikasi penyakit ginjal, gagal jantung, sesak napas, dan reumatik. Lebih tragisnya ia meninggal dalam status sebagai tahanan kota oleh pemerintah Soeharto.
Setelah Soekarno terdepak dari jabatan Presiden, Soeharto naik takhta dan membentuk pemerintahan Orde Baru. Sejurus kemudian Soekarno dikucilkan. Tokoh pendiri bangsa itu malah jadi tahanan politik Soeharto.
Bung Karno dilarang menginjakkan kaki di Jakarta. Ia tinggal di Istana Bogor dalam pengawasan ketat lalu sempat pindah ke Istana Batu Tulis.
Dengan harapan bisa kembali ke Jakarta, Soekarno melalui putrinya, Rachmawati memohon kepada Soeharto untuk diizinkan kembali ke ibu kota. Setelah mendapat izin, Bung Karno dibawa ke Wisma Yaso sebagai tahanan dengan pengamanan ketat.
Menjelang akhir tahun 1966, dokter Soeharto yang merupakan dokter pribadi Soekarno, mengunjungi Bung Karno di Wisma Yaso. Dokter Soeharto memeriksa kesehatan Bung Karno yang semakin menurun.
Kepada Kolonel CPM Maulwi Saelan, dokter Soeharto melaporkan bahwa kesehatan sang Proklamator sangat menurun drastis. Produksi kristal dan batu ginjal meningkat, dan tekanan darahnya yang biasanya rendah mulai cenderung naik.
Selain masalah ginjal, Bung Karno juga menunjukkan gejala komplikasi penyakit lainnya. “Diperkirakan ginjal kanan berfungsi hanya 25-50%,” ungkap dokter Soeharto seperti yang ditulis Maulwi Saelan dalam bukunya.
BACA JUGA:
Dalam pertemuan akhir tahun 1966 itu, dokter Soeharto menyarankan agar Bung Karno dirawat di rumah sakit. “Apakah tidak lebih baik dirawat di rumah sakit saja?” tanyanya. Namun Bung Karno menjawab, “Ik heb niets te willen, dat moeten de behandelend doktoren maar uitmaken. Saya tidak boleh keinginan apa-apa, seharusnya dokter-dokter yang menangani yang memutuskan”.
Pada Sabtu, 20 Juni 1970, pukul 20.30 WIB, kesadaran Bung Karno menurun drastis dan pada dini hari Minggu, ia mengalami koma. Dokter Mahar Mardjono segera menghubungi anak-anak Bung Karno dan meminta mereka segera datang.
Pada Minggu, 21 Juni 1970, pukul 06.30 WIB, anak-anak Bung Karno, termasuk Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh, tiba di rumah sakit. Mereka menunggu dengan tegang perkembangan kondisi ayah mereka.
Meskipun berada di Wisma Yaso, Bung Karno menjalani hari-harinya dengan rasa sakit dan kesepian. Kepada dokter Soeharto, ia pernah mengeluh tentang rasa kesepiannya. Kepada Hartini, istri keempatnya, ia menyatakan kesedihannya sambil meneteskan air mata, “Ik wou maar dat ik de schot krijgt. Aku ingin agar aku ditembak saja,” kata Bung Karno kepada Hartini.
Pada 16 Juni 1970, kondisi kesehatan Bung Karno semakin parah hingga akhirnya ia dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto. Peter Kasenda dalam bukunya "Hari-hari Terakhir Soekarno" (2012) menyebut Bung Karno ditempatkan dalam sebuah kamar dengan penjagaan ketat di lorong rumah sakit.
Kondisi kesehatan Bung Karno semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Anak-anaknya menunggu perkembangan dengan wajah tegang di luar kamar perawatan.
Tepat pukul 07.00 WIB, dokter Mahar Mardjono membuka pintu ruang perawatan, dan anak-anak Bung Karno langsung masuk. Berondongan pertanyaan mereka hanya dijawab dokter Mahar dengan gelengan kepala. Pukul tujuh lewat sedikit, perawat mulai melepas selang makanan dan alat bantu pernapasan Bung Karno.
Anak-anak Bung Karno lalu mengucapkan takbir. Megawati membisikkan kalimat syahadat ke telinga Bung Karno, dan Bung Karno mencoba mengikutinya. “Allah,” kata Bung Karno lirih seiring dengan napas terakhirnya, seperti dikutip dari buku “Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah Soekarno”.
Tepat pukul 07.07 WIB, Bung Karno wafat, dan tangisan pecah di RSPAD. Sang Proklamator RI kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Berakhir sudah tugasnya sebagai Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
(Salman Mardira)