JAKARTA – Jaksa penuntut umum (JPU) kembali menunda pembacaan tuntutan, perkara kasus anak menggugat ibu kandung di Karawang. Kelanjutan sidang terkait pemalsuan tanda tangan surat keterangan waris (SKW) dipertanyakan.
Menanggapi hal tersebut, Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengakui bahwa sebenarnya pihaknya sudah menerima rencana penuntutan Kusumayati yang sidangnya sudah beberapa kali tertunda.
Terdakwa Kusumayati sebelumnya dilaporkan atas dugaan pemalsuan tanda tangan anaknya Stephanie, dengan pasal 263 KHUP, di mana pasal tersebut masuk dalam klasifikasi tindak pidana berat.
"Yang pasti rentutnya sudah di kejaksaan. Makanya pimpinan Jampidum memerintahkan kajari kajati. Mungkin secara formal okelah, tapi apa itu penyelesaian yang paling baik," kata Harli Siregar.
Di sisi lain, Kongres Advokat Indonesia (KAI) JPU agar tidak menunda proses persidangan yang sudah masuk tahap penuntutan.
"Sidang jangan sampai menjadi molor terus. Sehingga ini membuat tidak ada kepastian hukum," ujar Ketua Dewan Penasihat KAI, Erman Umar, Kamis (3/10/2024).
Ketua Forum Advokat Untuk Keadilan dan Demokrasi (Fatkadem) ini kemudian mengatakan, restorative justice tidak akan bisa menghilangkan pidana yang dilakukan oleh seseorang apalagi terdakwa.
"RJ itu tidak pernah bisa menghilangkan pidana yang telah terjadi, tetapi hanya bisa meringankan. Sehingga, jika masing-masing pihak jika tidak mau menempuh RJ, maka proses hukum harus segera diputuskan,"tegasnya.
Oleh karena itu, dengan sikap seperti itu, mantan Presiden KAI itu kembali meyakini hakim bakal tegas dalam menuntaskan kasus tersebut.
Dia berharap pihak jaksa penuntut umum tidak lagi terus menerus memaksakan untuk mengajukan upaya perdamaian jika kedua belah pihak yang berkonflik lebih memilih upaya hukum.
"Itu ada batasnya jangan dipaksa karena keputusan semua ada di hakimnya. Yang penting ada kepastian karena rasa keadilannya harus tetap dikedepankan," tandasnya.
Aktivis hukum Karawang, A Badjuri mengatakan, tidak boleh ada perbedaan perlakuan dalam penegakan hukum maupun dalam proses hukum.
"Ini dari awal saya perhatikan, karena saya pernah beberapa kali juga hadir langsung dalam persidangan. Kenapa bisa terdakwa diperlakukan istimewa menurut saya," kata Abad beberapa waktu lalu.
Abad juga memberikan contoh kasus lain juga seperti yang dialami Nenek Minah warga Banyumas, Jawa Tengah, yang dituduh mencuri tiga buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan, yang terjadi pada tahun 2009 lalu.
"Nenek Minah tetap dipenjara, dengan tuduhan mencuri 3 buah kakao, padahal saat itu dia sendiri tidak tahu bahwa pohon itu milik perusahaan, dan buah yanh diambilnya juga tidak dibawa, tetap saja dia dipenjara,"pungkasnya.
(Fahmi Firdaus )