Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Jangan Langgengkan Praktik Demokrasi yang Manipulatif

Opini , Jurnalis-Jum'at, 17 Januari 2025 |09:55 WIB
Jangan Langgengkan Praktik Demokrasi yang Manipulatif
Bambang Soesatyo
A
A
A

POPULISME tak terukur bisa menjadi jebakan yang menghancurkan. Menihilkan standar kompetensi kepemimpinan dalam memilih pemimpin publik adalah awal kehancuran. Nuansa populis dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 tentang penghapusan presidential threshold justru memperluas ruang bagi manipulasi nilai dan prinsip-prinsip demokrasi.

Sudah menjadi fakta tak terbantahkan bahwa sebagian dari perjalanan sejarah demokrasi Indonesia modern diwarnai dengan praktik demokrasi yang manipulatif. Adalah nyata bahwa kekuasaan politik bisa dibeli, dengan terlebih dahulu membeli suara warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih. Itu sebabnya, semua elemen masyarakat tahu dan mengenal apa itu politik uang.

Demikian popularnya praktik dan ungkapan politik uang sehingga sering dijadikan candaan atau materi lawakan oleh berbagai kelompok masyarakat. Tidak peduli dengan program dan janji kandidat pemimpin publik yang sedang berkampanye, sebagian masyarakat justru lebih menunggu ‘serangan fajar’, saat-saat ketika para relawan sang kandidat bagi-bagi uang.  

Selain politik uang, manipulasi terhadap praktik berdemokrasi juga dilakukan dengan menunggangi salah satu kewajiban negara, yakni ragam program bantuan sosial. Program ini sering direkayasa sedemikian rupa untuk membentuk persepsi bahwa bantuan diberikan oleh kandidat atau pribadi bersangkutan. Modus manipulasi lainnya adalah menekan pemimpin lokal untuk ‘memaksa’ dan memastikan warga setempat memilih kandidat tertentu. Jika sang pemimpin lokal menolak ‘paksaan’ itu, dia akan dikriminilisasi.

Kehendak bersama untuk membangun kehidupan berdemokrasi yang dewasa, bijaksana dan matang akan sulit diwujudkan jika praktik demokrasi yang manipulatif seperti sekarang ini dibiarkan berlarut-larut. Menjadi kewajiban suprastruktur dan infrastruktur politik negara untuk terus berupaya mengeliminasi praktik demokrasi yang manipulatif itu.  

Benar bahwa semua warga negara berhak dan bisa menjadi pemimpin publik; dari kepala desa, camat, lurah, bupati, gubernur hingga presiden. Tetapi sosok pemimpin publik, apalagi presiden sebagai pemimpin nasional, harus dipersiapkan dan secara pribadi dia pun harus mempersiapkan dirinya. Masyarakat harus tahu bagaimana seorang calon pemimpin publik dipersiapkan. Semua aspek pada figur calon pemimpin publik haruslah positif.  

 

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement