Amin menceritakan pengalamannya bersama Institut Leimena dan beberapa tokoh Islam, yaitu Alwi Shihab dan Azyumardi Azra, berkeliling Eropa dan Amerika Serikat pada 2017 untuk memperkenalkan Islam moderat dari Indonesia dan Pancasila.
“Setelah tur internasional 1,5 bulan penuh berdiskusi ke Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, kemudian di Amerika ke New York, Washington DC, Los Angeles, sampai akhirnya buah dari perjalanan panjang itu adalah program yang kita sebut Literasi Keagamaan Lintas Budaya," ujar Amin.
Masalah Penafsiran
Mantan Menlu RI, Dr. Alwi Shihab, mengatakan Islam pada hakikatnya hanya satu karena memiliki kitab suci dan Nabi yang sama. Namun, perbedaan terjadi karena penafsiran yang berbeda, bahkan kadang bisa menyebabkan konflik berdarah. Alwi mencontohkan perang yang terjadi antara Irak dan Iran yang berlangsung selama delapan tahun. Konflik senada juga pernah terjadi antar agama berbeda, seperti Perang Salib antara umat Islam dan Kristen.
“Kalau kita menelusuri sejarah, kita akan melihat tidak ada satu agama pun yang membenarkan konflik berdarah. Tapi hal itu terjadi sampai sekarang karena perbedaan penafsiran dan yang menjadikan konflik lebih sulit diatasi adalah afiliasi politik,” kata Alwi.
Alwi mengatakan program LKLB yang diadakan Institut Leimena berusaha memberikan pencerahan bahwa paling utama adalah tidak boleh memusuhi suatu agama. Dia menambahkan tiga kompetensi yang diajarkan dalam program LKLB yaitu pertama, kompetensi pribadi, artinya setiap penganut agama harus benar-benar memahami dan mengerti ajaran agamanya.
Kedua, kompetensi komparatif, yaitu mencari titik temu dalam perbedaan agama dengan menumbuhkan empati satu sama lain. Ketiga, kompetensi kolaboratif, yaitu titik temu yang ada harus menjadi landasan untuk bekerja sama.
"Banyak feedback dari peserta LKLB bahwa mereka lebih nyaman berhubungan dengan kelompok lain setelah memahami tiga kompetensi itu," kata Alwi yang juga mantan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Dubes RI untuk Uzbekistan dan Kyrgyzstan, Siti Ruhaini, mengatakan energi yang dibutuhkan Indonesia untuk bisa hidup berdampingan jauh berkali-kali lipat dibandingkan Vietnam yang sifatnya lebih homogen. Di Indonesia, agama menjadi hal penting, sehingga dibutuhkan adanya sistem demokrasi agar tidak tercipta perang klaim kebenaran masing-masing agama.
“Demokrasi mengubah cara kita melihat perbedaan, mendasari semua upaya yang kita harus lakukan dan menjadi landasan kerja-kerja masyarakat sipil termasuk Institut Leimena dalam program LKLB,” kata Ruhaini.
(Angkasa Yudhistira)