JAKARTA – Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Puti Guntur Soekarno menyoroti rancangan naskah dokumen sejarah disusun dalam waktu yang terbatas. Sehingga, bisa menimbulkan polemik dari berbagai pihak.
“Rancangan dokumen sejarah yang sedang disusun dengan waktu yang terbatas, menimbulkan polemik dari beragam pihak, termasuk budayawan dan sejarawan. Dokumen sejarah ini terkesan mendelegitimasi dari berbagai sumber sejarah,” katanya, dikutip Rabu (28/5/2025).
Menurut Puti, banyak fakta-fakta sejarah yang hilang dalam rancangan naskah dokumen sejarah tersebut. Ia pun mempertanyakan akan dibawa ke mana sejarah bangsa bila penyusunan tidak proporsional dengan catatan sejarah itu sendiri.
“Seperti minimnya dan tidak proporsional catatan sejarah mengenai Konferensi Asia-Afrika. Padahal, KAA merupakan agenda fenomenal dan menjadi mercusuar sejarah bangsa Indonesia di kancah internasional yang diinisiasi Bung Karno,” ujarnya.
Padahal, konferensi yang digelar di Bandung, Jawa Barat pada 1955 itu peristiwa sejarah dunia yang dampaknya terasa hingga sekarang, seperti Gerakan nonblok hingga adanya politik bebas aktif. Hal lainnya yang juga disorot yakni, mata pelajaran sejarah tidak menjadi pelajaran wajib dalam kurikulum nasional.
Puti menegaskan, sejarah adalah identitas dan modal dalam kehidupan berbangsa yang harus ditanamkan sejak usia dini. “Karena itu, perlu dijadikan mata pelajaran wajib agar ada internalisasi nilai sejarah berbangsa bagi generasi penerus bangsa,” imbuhnya.
Dalam menyusun sejarah, Puti menekankan agar jangan tergesa-gesa karena harus ditulis dengan penuh kehati-hatian dan bersumber pada fakta objektif yang terjadi pada masa lampau. Namun, yang terjadi sekarang justru sebaliknya.
“Yang menjadi pertanyaan penyusunan sejarah ini seperti tergesa-gesa, rencana akan diluncurkan di 17 Agustus mendatang, seperti kejar tayang,” katanya.
Komisi X DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Senin 26 Mei 2025. Dari rapat tersebut dihasilkan sejumlah keputusan, di antaranya penulisan sejarah tidak bias kolonial dan bisa meneguhkan identitas nasional dan relevansi terhadap generasi muda.
Kemudian, melibatkan banyak pemangku kepentingan, sehingga buku sejarah bisa merekam peristiwa sejarah secara objektif, mendalam, komprehensif. Selain itu, bermanfaat dalam dunia pendidikan dan memperkuat karakter bangsa.
“Dan yang tidak kalah penting, buku sejarah Indonesia tersebut, tidak disebut sebagai buku sejarah resmi atau buku sejarah resmi baru,” pungkasnya.
(Arief Setyadi )