JAKARTA — Ketua Dewan Direktur Great Institute Syahganda Nainggolan mendorong pembentukan Undang-Undang Keamanan Nasional dan Dewan Keamanan Nasional (DKN). Hal itu didasari pada situasi global yang bisa memicu terjadinya perang.
“Situasi dunia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Dan dalam kondisi seperti itu, negara ini tidak boleh tidur,” kata Syahganda lewat siaran pers, Sabtu (5/7/2025).
Ia mengatakan, ada empat rekomendasi strategis hasil Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Potensi Perang Dunia dan Kesiapan Indonesia ke Depan”, yang digelar Jumat 4 Juli 2025 di kantor Great Institute, Jakarta Selatan. Salah satunya mendesak pembentukan Undang-Undang Keamanan Nasional dan DKN sebagai organ vital dalam menghadapi krisis.
Kemudian, mendorong penguatan Komponen Cadangan (Komcad) sebagai kekuatan rakyat semesta dalam sistem pertahanan nasional. Lalu, menegaskan bahwa politik luar negeri bebas aktif harus berlandaskan kepentingan nasional dan keseimbangan strategis.
“Menyatakan keyakinan kolektif bahwa Presiden Prabowo Subianto memahami lanskap global dan perlu terus didukung dalam mewujudkan strategi keamanan nasional Indonesia,” katanya.
Mantan Dubes RI untuk Mesir, Helmy Fauzy mengatakan, ketegasan dalam diplomasi juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Ia pun mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto membawa Indonesia ke BRICS sebagai bentuk sikap strategis dalam geopolitik Asia Pasifik yang semakin memanas, menyusul pergeseran kekuatan militer AS ke kawasan ini.
“Sikap kita kini tegas. Beda dengan era sebelumnya yang masih gamang,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.
Sementara menurut pemerhati intelijen dan keamanan nasional, Stepi Anriani, peperangan modern bersifat multidomain, presisi, dan simultan. Ia pun menyarankan agar Komcad dilatih secara lebih spesifik, seperti menjadi milisi laut yang mampu menjaga wilayah kepulauan dan perbatasan Indonesia, meniru strategi pertahanan rakyat China.
“Mereka bahkan melatih nelayan jadi bagian dari sistem pertahanan. Kita harus bisa berpikir sepraktis itu,” katanya.
Namun, ekonom Drajad Wibowo mengkritisi kesiapan fiskal Indonesia yang menurutnya belum mampu menopang penguatan alutsista dan pertahanan. Ia menyarankan optimalisasi pendapatan negara melalui intelijen fiskal, termasuk penagihan tunggakan pajak dan pengawasan transfer pricing.
“Kinerja penerimaan negara semester pertama 2025 justru turun dari Rp1.458 triliun ke Rp1.451 triliun. Kalau penerimaan tidak cukup, bagaimana bisa kita beli alutsista, apalagi memperkuat pertahanan?” katanya.
Ditambahkan aktivis Anton Permana, ada lima titik konflik global yang harus diwaspadai Indonesia, yakni Ukraina, Timur Tengah, Taiwan, Laut China Selatan, dan India–Pakistan. Ia pun menyoroti lemahnya pertahanan udara Indonesia serta keberadaan pangkalan rudal Australia yang mengarah ke wilayah RI.
Sehingga, menurutnya, penting bagi Indonesia untuk segera membentuk DKN agar koordinasi intelijen dan kebijakan tidak lagi terpisah-pisah. “Kalau kita ingin perdamaian, maka kita harus kuat. Dan kekuatan itu tidak cukup hanya lewat niat, tapi juga lewat struktur,” kata Anton.
(Arief Setyadi )