JAKARTA – Penyelamatan seorang pemuda di sebuah rumah di Bahria Town, Rawalpindi, pekan ini mengungkap fakta serius tentang industri perdagangan organ di Pakistan yang terus berkembang secara terbuka, meskipun ada pengawasan ketat dari pemerintah. Pemuda tersebut ditemukan dalam kondisi terikat di tandu, beberapa saat sebelum pengambilan ginjal dilakukan.
Lima belas tahun lalu, pemerintah Pakistan mengesahkan Undang-Undang Transplantasi Organ dan Jaringan Manusia (THOTA), yang dirancang untuk mencegah eksploitasi terhadap kelompok rentan dan mengatur industri transplantasi. Undang-undang ini bertujuan melindungi kehidupan manusia dengan memastikan bahwa organ hanya bisa disumbangkan secara sukarela dan diawasi secara ketat.
Namun, saat ini, regulasi tersebut lebih banyak berjalan di atas kertas. Jaringan perdagangan organ yang terorganisir dengan baik tetap beroperasi tanpa terdeteksi, bahkan di kawasan perumahan elit, lengkap dengan peralatan medis, obat-obatan anestesi, dan tenaga medis berlisensi.
Keberadaan operasi seperti ini menunjukkan tidak hanya potensi keuntungan besar dari perdagangan ilegal tersebut, tetapi juga lemahnya pengawasan dari pihak berwenang, demikian dilaporkan Islam Khabar pada Sabtu (23/8/2025).
Salah satu perhatian utama adalah keterlibatan para profesional medis, termasuk dokter bedah, perawat, dan ahli anestesi, yang seharusnya melindungi nyawa, namun di kasus ini diduga terlibat dalam praktik ilegal tersebut, mengubah tempat penyembuhan menjadi lokasi eksploitasi.
Hal ini menunjukkan adanya kekurangan dalam pengawasan sistemik oleh otoritas kesehatan dan badan regulator yang bertugas memantau serta menyelidiki pelanggaran semacam ini. Keterlibatan tenaga medis sekaligus menjadi indikasi potensi kelalaian atau bahkan kolusi dalam sistem.
Secara hukum, THOTA di tingkat federal bersama mitranya di Provinsi Punjab bertanggung jawab mengatur transplantasi organ, memverifikasi pendonor, dan menyelidiki aktivitas mencurigakan.
Namun dalam praktiknya, lembaga-lembaga tersebut belum sepenuhnya efektif. Ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk mencegah sebelum kejadian membuat mereka lebih berperan sebagai institusi simbolis.
Pengawasan rutin lebih sering berwujud formalitas daripada tindakan nyata. Akibatnya, jaringan perdagangan organ dapat beroperasi dengan sedikit akuntabilitas, mengandalkan kerahasiaan dan eksploitasi kelompok rentan.
Penegakan hukum pun cenderung bereaksi setelah kejadian, bukan secara proaktif mencegah atau membongkar jaringan kriminal ini.
Korban sering ditemukan secara kebetulan, bukan melalui intelijen atau investigasi sistematis. Dalam penggerebekan di Bahria Town, polisi menemukan korban yang hampir dimutilasi bukan karena adanya penyelidikan aktif terhadap jaringan tersebut.
Ketergantungan pada kebetulan ini memperlihatkan kelemahan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum di lapangan.
Fenomena perdagangan organ di Pakistan mencerminkan persoalan sosial dan struktural yang lebih mendalam; eksploitasi terhadap kelompok rentan—umumnya orang miskin, kurang berpendidikan, atau dalam kondisi terdesak—didukung oleh korupsi sistemik, kegagalan regulasi, dan kurangnya perhatian sosial.
Kemiskinan memudahkan para pelaku perdagangan untuk merekrut korban dengan janji kompensasi, sering kali dengan cara bujuk rayu atau paksaan. Korban kemudian kehilangan kendali dan terperangkap dalam jaringan yang beroperasi dengan impunitas, dilindungi oleh birokrasi yang acuh tak acuh dan lemahnya penegakan hukum.
Penggunaan wilayah elit seperti Bahria Town sebagai lokasi kejahatan menambah kompleksitas kasus ini. Area yang seharusnya melambangkan keamanan dan kemakmuran ternyata menjadi tempat praktik medis ilegal, menunjukkan kesenjangan antara citra dan kenyataan.
Fakta bahwa operasi dilakukan di lingkungan berkelas dengan alat medis dan tenaga profesional menunjukkan baik keberanian para pelaku maupun tantangan besar bagi negara dalam menjalankan pengawasan efektif, bahkan di lokasi yang mendapat sorotan publik.
Dampak dari perdagangan organ bukan sekadar tindak kriminal; ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Setiap korban kehilangan otonomi, martabat, dan dalam beberapa kasus, bahkan nyawanya.
Berulangnya pelanggaran ini tanpa penanganan serius dari regulator maupun aparat penegak hukum mencerminkan kegagalan moral dan institusional yang signifikan. THOTA, yang semula diharapkan menjadi benteng perlindungan, kini lebih berfungsi sebagai janji tanpa implementasi nyata.
Selain itu, pengungkapan kasus di Rawalpindi ini merupakan yang kedua dalam satu pekan terakhir, menunjukkan pola yang mengkhawatirkan dan mengindikasikan masalah yang sudah mengakar.
Ini bukan kasus terisolasi, melainkan bagian dari permasalahan sistemik. Kejahatan ini cenderung dinormalisasi, dengan korban hanya ditemukan saat kebetulan atau tekanan publik terjadi.
Industri ini bertahan di atas kerentanan sosial, diperkuat oleh ketidakmampuan sistem dan kurangnya akuntabilitas.
Keterlibatan profesional medis juga menimbulkan pertanyaan etis serius, karena seharusnya mereka menjaga kehidupan, bukan terlibat dalam mutilasi demi keuntungan. Hal ini menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan.
Kegagalan pengawasan tidak hanya berada di sektor kesehatan, tetapi juga pada penegak hukum yang cenderung bersikap reaktif. Mereka jarang melakukan operasi berbasis intelijen dan lebih mengandalkan temuan kebetulan.
Pendekatan ini memungkinkan pelaku beroperasi bebas dengan keyakinan kecil akan dihukum kecuali ketahuan secara tidak sengaja.
Kondisi ini memperbesar keberanian para pelaku.
Tanpa pengawasan efektif, luasnya jaringan perdagangan organ di Pakistan sebagian besar tersembunyi. Kasus yang terungkap kemungkinan baru sebagian kecil dari keseluruhan praktik.
Kurangnya data lengkap, lemahnya investigasi, dan minimnya akuntabilitas publik menutupi skala masalah dan meninggalkan banyak korban yang tak teridentifikasi. Setiap penyelamatan hanya menjadi pelarian sempit, bukan bukti keberhasilan pengelolaan.
Secara keseluruhan, hukum ada tetapi belum ditegakkan; lembaga regulator ada tetapi belum berfungsi optimal; tenaga medis yang seharusnya pelindung hidup justru terlibat dalam praktik ilegal. Penegak hukum bergerak hanya ketika ada kesempatan.
Kombinasi kegagalan ini menciptakan keadaan di mana perdagangan organ ilegal dapat terus tumbuh tanpa penghalang dan pertanggungjawaban.
Industri perdagangan organ di Pakistan terus berkembang terbuka, menjadi tanda kegagalan institusi negara.
Di tahun 2025, hal yang sebelumnya tak terbayangkan telah menjadi kenyataan sehari-hari, memperlihatkan ketimpangan antara hukum di atas kertas dan praktik di lapangan.
(Rahman Asmardika)