JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah resmi menyampaikan permohonan penggunaan teleconference dalam pemeriksaan saksi tragedi penembakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Yogyakarta, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.
Langkah ini dilakukan menyusul keinginan para saksi menjelang pemeriksaannya di Pengadilan Militer.
"Surat secara resmi ditujukan kepada Mahkamah Agung (MA) sejak 23 April 2013 yang intinya menyarankan penggunaan teleconference dalam persidangan tragedi Lapas Cebongan, atas dasar permintaan para saksi telindung LPSK dan jaminan kenyamanan serta keamanan para saksi tersebut," terang Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai dalam keterangan persnya kepada Okezone, di Jakarta, Selasa (28/5/2013) malam.
Abdul Haris menuturkan, penyampaian ke Mahkamah Agung (MA) terkait tanggungjawab dan fungsi pengawasan Mahkamah Agung (MA) terhadap semua badan peradilan yang berada dibawahnya sesuai ketentuan Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA).
Menurutnya, permintaan penggunaan teleconference ini telah sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 9 ayat (1) tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan, saksi dan atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut diperiksa.
"Selanjutnya pada ayat ketiga disebutkan bahwa saksi dan atau korban tersebut dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang," sambungnya.
Sementara itu, anggota LPSK selaku penanggungjawab Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban, Teguh Soedarsono mengatakan, untuk mengantisipasi dampak trauma yang masih dialami para saksi, pihaknya telah bekerjasama dengan sejumlah tim psikolog di beberapa tumah sakit, diantaranya RS Akademik Universitas Gadjah Mada (UGM), Asosiasi Prikolog Forensik (Asifor), dan Himpunan Psikolog Indonesia Wilayah Yogyakarta (Himsi Yogyakarta). "Tim psikolog terdiri dari 14 orang dibawah pimpinan Ketua Asifor," kata Teguh.
Mengenai jumlah saksi lanjut dia, terdapat 42 orang saksi yang masuk dalam program perlindungan LPSK dan siap memberikan kesaksian. 16 saksi diantaranya meminta pemulihan psikologis. Mereka berharap LPSK dapat memfasilitasi penggunaan teleconference dan menjamin keamanan dan keselamatan jiwa mereka.
"LPSK berharap aparat penegak hukum terkait dapat mendukung upaya perlindungan LPSK terhadap para saksi, agar proses persidangan berjalan lancar, transparan dan adil sesuai harapan publik," pungkas Teguh.
(Rizka Diputra)