JAKARTA - Tingginya batas angka kelulusan nasional dikeluhkan banyak siswa di berbagai daerah. Salah satu alasannya, tidak semua daerah memiliki kualitas pendidikan yang sama, sehingga bisa memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah.
Hal ini disampaikan Nia, siswa asal Pontianak, Kalimantan Barat, saat bertemu dengan Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal, Kamis (8/7/2010). Nia merupakan salah seorang peserta Forum Pemimpin Muda Nasional (FPMN) 2010.
"Angka yang dipatok pemerintah sangat tinggi. Padahal kualitas di daerah tidak sama dengan di pusat. Kami di daerah kekurangan guru dan berbagai sarana penunjang pendidikan," keluh Nia di Gedung kemendiknas, Jakarta, Kamis (8/7/2010).
Hal itu merupakan salah satu dari sekian pertanyaan kritis yang dilontarkan siswa se-Indonesia peserta FPMN, yang ditujukan kepada Fasli. Dalam forum itu pun Fasli "dikeroyok" pertanyaan. Namun, suasana dialog itu berjalan santai. Sehingga, siswa bisa "plong" mendengar jawaban Wamendiknas.
Keluhan Nia dijawab Fasli dengan pemaparan data statistik pendidikan. Dijelaskan Fasli, jumlah guru di Indonesia sebenarnya banyak. Hanya saja, persebarannya belum merata. Saat ini memang lebih banyak guru yang terserap di kota-kota besar.
"Rasio antara guru dengan murid di Indonesia lebih kecil bila dibandingkan di Korea. Di Indonesia, satu guru mengajar 19 siswa. Sementara di Korea, satu guru mengajar 35 siswa," imbuhnya.
Wamendiknas lantas melakukan proses tawar-menawar angka kelulusan dengan para siswa yang menemuinya. Dia pun menantang para siswa untuk memenuhi standar kelulusan dengan nilai rata-rata delapan, seperti di Malaysia dan Filipina.
"Tapi kita realistis. Saat ini Indonesia baru mampu pada nilai rata-rata kelulusan lima. Dengan catatan, hanya dua mata pelajaran yang mendapat nilai di bawah lima," kelakarnya.
Standar ini, menurut Fasli, merupakan standar minimal yang diperkirakan bisa dicapai oleh daerah-daerah pelosok. Dia menegaskan, para pejabat sekolah tidak perlu memaksa untuk meluluskan anak didiknya jika memang siswa tersebut dinilai tidak mampu.
"Jika dipaksakan, siswa tersebut tidak akan memiliki kompetensi sebagai bekalnya bertahan setelah lulus. Lebih baik menguasai ilmu dengan baik daripada dipaksakan untuk lulus seratus persen. Sebab jika dipaksakan itu hanya akan menganiaya masa depan siswa tersebut," pungkasnya.
(Rani Hardjanti)