JAKARTA - Para penderita diabetes kini dapat mengkonsumsi teh manis tanpa merasa was-was. Pasalnya, Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menghadirkan inovasi baru berupa Cipcup Tea.
Cipcup Tea berasal dari tanaman ciplukan. Tanaman yang banyaknya tumbuh di sawah saat musim panen palawija dan kacang tanah itu buahnya sering dikonsumsi anak-anak karena rasanya yang manis. Tidak hanya buah, batang dan daun tanaman ciplukan banyak dimafaatkan sebagai ramuan obat seperti, diabetes, darah tinggi, kencing manis, luka dan sakit tenggorokan.
Menyadari manfaat ciplukan, lewat tangan kreatif Denok Kumalasari, Rahmi Wijayanti, Intin Nurwati, dan Ridho Andika Putra hadirlah teh celup ciplukan dengan label Cipcup Tea. Denok menyebutkan, selama ini pengolahan tanaman ciplukan masih sangat tradisional.
"Biasanya, mereka yang ingin mengkonsumsi ciplukan harus merebusnya terlebih dahulu, Kemudian air rebusannya baru dijadikan obat," ujar Denok, seperti dinukil dari laman UGM, Sabtu (21/7/2012).
Menurut Denok, ciplukan mengandung senyawa flavonoid yang berfungsi menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes. Senyawa flavonoid yang terkandung mencapai empat persen, sehingga penderita diabetes aman untuk mengkonsumsi teh ini.
"Para penderita diabet memiliki insulin yang tidak berfungsi, sehingga tak mampu mengubah gula dalam tubuh menjadi energi. Maka dari itu, flavonoid ini mampu memberbaiki fungsi insulin dalam tubuh," papar gadis kelahiran Sleman ini.
Sementara itu, Rahmi menyebutkan, penggunaan sari daun stevia dalam Cipcup Tea bukan tanpa alasan. Daun Stevia mengandung senyawa gtikosida diterpen dengan tingkat kemanisan antara 200-300 kali dari gula tebu, tetapi tetap berkalori rendah.
"Makanya, daun stevia kami pilih sebagai pengganti pemanis (gula) dalam Cipcup Tea, yang tentunya baik dikonsumi bagi penderita diabetes. Selain itu, stevia juga bisa membantu program diet dan mengatur tekanan darah," ujar Rahmi menambahkan.
Teh olahan keempat mahasiswa ini sangatlah praktis dan lebih tahan lama. Bahkan, Cipcup Tea juga telah mendapat sertifikat dari MUI. "Waktu kadaluarsa teh ini hampir sama dengan teh pada umumnya, yakni hingga dua tahunan," ungkap Denok.
Proses pembuatan Cipcup Tea diawali dengan pengeringan batang dan daun tanaman ciplukan dalam oven bersuhu 200 derajat celsius selama 6-7 jam. Proses pengeringan ini dilakukan hingga kadar air dalam ciplukan hanya 3-4 persen.
"Tapi sekarang kami lebih memilih untuk menggunakan ciplukan yang sudah kering dari kelompok tani Bina Argo Mandiri, Dongkelan. Ciplukan kering ini bisa kami dapatkan hanya dengan mengeluarkan kocek Rp20 ribu per kilogram," imbuh Denok.
Setelah kering, proses selanjutnya adalah menggiling daun ciplukan hingga menjadi serbuk. Setelah itu, ditambahkan daun stevia dan teh hijau kering, baru dikemas dalam kantong teh celup.
Rahmi memaparkan, dalam satu kali produksi, Cipcup Tea menggunakan 1.200 gram ciplukan kering, 800 gram stevia kering, dan 400 gram teh hiaju kering. Dari bahan-bahan tersebut dihasilkan sebanyak 2.000 kantong teh ciplukan untuk 200 pack Cipcup Tea. "Kami kemas satu pack berisi 10 kantong dengan berat 12 gram dengan harga Rp8.000," ujarnya menambahkan.
Saat ini, Cipcup Tea memang belum dipasarkan secara luas. Namun, ke depan, mereka sudah berencana akan membuat sistem keagenan dan menitipkannya ke beberapa apotek. "Kami juga memiliki komitmen, penghasilan dari penjualan teh ciplukan ini sebesar 2,5 persennya akan disalurkan untuk penderita diabetes yang kurang mampu," tandasnya.
(Margaret Puspitarini)