JAKARTA – Dinamika pasca-kongres IV PDIP bakal menarik. Bukan hanya karena kongres mengukuhkan kembali Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum, namun juga karena kongres memastikan gerak langkah partai menuju modernisasi, sekaligus memastikan pelaksanaan Nawa Cita oleh Pemerintahan Jokowi-JK.
Selain menguatnya konsolidasi dalam tubuh PDIP melalui pengukuhan Megawati, di sisi lain kongres juga menunjukkan proses regenerasi trah Soekarno.
"Ini setidaknya terlihat dari pelantikan Puan Maharani sebagai Ketua Bidang Politik dan Keamanan, dan Muhammad Prananda Prabowo sebagai Ketua Bidang Ekonomi Kreatif dalam pengurus DPP PDIP periode 2014-2019," ujar Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Banten, Leo Agustino, Senin (13/4/2014).
Kondisi itu didorong atas survei yang cukup mengejutkan bahwa 47,5 persen dari pengurus PDIP di tingkat daerah dan cabang menghendaki adanya modernisasi partai. Dalam arti kata lain, perlu pengelolaan partai yang lebih efektif dan profesional.
Kedua, mulai terlihatnya penataan ulang yang baik atas hubungan PDIP dengan Pemerintah. Pasca-pemilihan presiden, hubungan Megawati dengan Jokowi mengalami kerenggangan.
Kerenggangan keduanya nampak jelas ketika Megawati dan Jokowi tidak berbincang sedikit pun di acara Musyawarah Nasional Kedua Partai Hanura di Solo, 5 Februari 2015. Alasannya sederhana, yakni Jokowi kurang mengakomodasi nama-nama yang diusulkan Megawati dari Kabinet Kerja Jokowi-JK.
Luar biasanya, hal demikian tampak hilang ketika Megawati dan Jokowi berinteraksi di Kongres IV PDIP di Bali. Buktinya, dalam pernyataannya menanggapi pidato Megawati di pembukaan kongres, secara tegas Presiden Jokowi mengatakan tidak ada masalah antara Istana dan partai pengusung.
Hal itu, menjadi krusial karena situasi harmonis lah yang diharapkan dalam pelembagaan demokrasi di Indonesia. Tentu keharmonisan tersebut diawali dengan kedekatan hubungan antara pemerintah dan partai pengusung.
"Adalah suatu kerisauan bersama, jika partai pengusung Presiden justru menjadi batu penghalang bagi kerja-kerja Presiden ke depan. Oleh karena itu, usaha untuk menormalkan hubungan antara partai dan Istana menjadi sangat penting teutama bagi bekerjanya pemerintah secara optimal," jelasnya.
Ketiga, adalah terkait kerisauan partai-partai pengusung akan adanya 'penumpang gelap' dalam pemerintah Jokowi-JK. Kerisauan yang diungkapkan secara terbuka oleh Megawati itu sebenarnya terkait masalah harmoni di atas. Megawati begitu mendamba hubungan yang intens antara partai dengan Pemerintah. Tapi, karena adanya penumpang-penumpang gelap dalam pemerintah Jokowi, maka kedekatan Jokowi-Mega menjadi renggang.
Dalam konteks yang lebih luas, Leo menilai pernyataan Megawati pada penumpang gelap dapatlah dipahami. Sebab Megawati menilai, Pemerintah Jokowi telah keluar dari Nawa Cita yang dijanjikannya kepada rakyat semasa kampanye dulu.
Sebagai bukti, kata Leo, sebuah majalah nasional terkemuka membuat liputan menarik tentang 'melencengnya' Nawa Cita dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019. Menurut media tersebut, keberadaan Nawacita dalam RPJMN hanya 10 persen saja.
"Dalam konteks itulah, Megawati mengingatkan Jokowi bahwa ada hal mendasar yang harus diperhitungkan olehnya. Yaitu, pemimpin haruslah melayani rakyat sesuai janji-janji politik yang dinyatakannya pada saat kampanye pemilihan umum. Dan jangan sampai janji-janji tersebut tersandera oleh kepentingan para penumpang gelap yang boleh jadi, mereka itu, tidak pernah merumuskan Nawa Cita Presiden Jokowi," paparnya.
"Sehingga, wajar ketika dalam Kongres IV di Bali, Megawati mengingatkan bahwa peran partai pengusung Presiden haruslah sebagai pengingat utama agar Presiden berjalan dan bergerak sesuai dengan rel yang telah disepakati dan dijanjikannya pada rakyat. "Di sinilah, sebenarnya, penting dan indahnya hubungan yang mesra antara partai pengusung dan Pemerintah yang didukung," tandas Leo.
(Fiddy Anggriawan )