DENPASAR - Upaya menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan melahirkan ketidakpastian hukum dan mengancam demokrasi. Hal itu disampaikan aktivis pro demokrasi di Bali, Wayan Suardana alias Gendo di Denpasar, Rabu (5/8/2015).
Ia mengungkapkan, pasal tersebut telah dihapus pada 2006 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. “Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tersebut secara hukum sudah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,” kata aktivis yang dipenjara karena membakar foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Desember 2004.
Menurutnya, pasal itu sangat rentan disalahtafsirkan oleh presiden. Karena itu, dirinya menolak bila pasal itu dihidupkan kembali.
Gendo menjelaskan, sebaiknya demokrasi negara ini tidak kembali berjalan mundur dan konstitusi dapat bersikap tegas dalam seluruh aspek hukum di Tanah Air. Jika pasal itu diterapkan kembali, kata dia, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengancam demokrasi.
"Esensi hukum demikian secara tegas dinyatakan dalam putusan MK tahun 2006," imbuhnya.
Gendo menganggap pasal penghinaan presiden yang dimasukkan dalam RUU KUHP sudah cacat konstitusi sejak dalam Rancangan Undang-Undang.
"Mengingat putusan MK sudah final dan mengikat, sehingga pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tidak bisa diaktifkan lagi," tegas Gendo yang saat ini menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Nasional Aktivis 98 Bali. (fal)
(Syukri Rahmatullah)