Ketika Soekarno Resmikan Yogya Jadi Daerah Istimewa

Randy Wirayudha, Jurnalis
Minggu 06 September 2015 06:26 WIB
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Foto: Capture Museum House of Sampoerna Surabaya/Randy Wirayudha)
Share :

BEBERAPA waktu silam, keistimewaan Yogyakarta sempat terusik. Jelas rakyat pengikut Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pun “menggugat” pemerintah pusat yang saat itu masih dibawahi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bahkan sempat timbul banyak slogan dari rakyat Yogya yang salah satunya berbunyi, “Jogja Istimewa atau Merdeka!!”. Satu dari beberapa ungkapan kekecewaan rakyat Yogya saat muncul pernyataan bahwa sistem monarki di Yogya bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi.

Tapi kembali mengingat asal-usul bagaimana kontribusi Yogyakarta yang “mengemong” republik ini semenjak masih bayi 70 tahun silam, rasanya keistimewaan soal Yogya tak semestinya dirusuhi.

5 September 70 tahun yang lampau, tak lama setelah Soekarno membacakan pernyataan kemerdekaan lewat teks proklamasi, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyatakan kesediaannya sebagai bagian dari Republik Indonesia (RI).

Sri Sultan Hamengku Buwono IX melayangkan amanat yang inti bunyinya adalah merelakan kerajaannya berada di bawah RI sebagai daerah istimewa, kekuasaan dalam negeri dan urusan Yogya menjadi tanggung jawab sultan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.

Deklarasi di atas, sedianya berupa lanjutan dukungan terhadap republik, yang awalnya sudah lebih dulu dikirimkan Sultan HB IX, 18 Agustus 1945 lewat kawat untuk mengucapkan selamat atas dibacakannya proklamasi.

Padahal saat itu, menurut buku ‘A Prince in a Republic: The Life of Sultan Hamengku Buwono IX’, Sultan HB IX belum kenal betul dan kenal dekat, baik dengan Soekarno mau pun Hatta.

Tapi sosok yang di masa kecil acap dipanggil ‘Henkie’ itu bersama Pakualam VIII, percaya bahwa republik yang baru lahir ini takkan goyah, bahkan dengan ancaman sekutu dan Belanda yang digadang akan kembali datang.

Sehari setelah keluarnya amanat Sultan HB IX pada 6 September 1945, sebagaimana dikutip dari ‘Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX’, datang dua utusan pemerintah, Menteri Negara Mr. Sartono dan Mr. Alexander Andries Maramis.

Keduanya datang ke Yogyakarta atas perintah Soekarno, untuk menetapkan kedudukan Yogyakarta sebagai daerah istimewa, melalui sebuah piagam. Piagam yang sejatinya, sudah disiapkan Soekarno sejak lama, tepatnya sehari setelah Sultan HB IX mengirim kawat ucapan selamat kepada lahirnya RI.

Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia. Jakarta, 19 Agustus 1945, Presiden Republik Indonesia. Soekarno”.

Sri Sultan HB IX dan segenap rakyat Yogyakarta, bahkan jadi tuan rumah bagi jalannya pemerintahan pusat, beberapa bulan berikutnya.

Datangnya sekutu yang diboncengi NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) pada pertengahan September 1945, merongrong keamanan pemerintahan di Jakarta. Sultan HB IX sempat mengusulkan untuk Ibu Kota sementara dipindah dari Jakarta ke Yogya.

Sidang kabinet pada 3 Januari 1946, menyetujui usulan tersebut dan sehari setelahnya, Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta rombongan, pindah ke Yogya dengan kereta api. Singkat kata, Yogya kemudian “mengemong” RI sebagai Ibu Kota hingga penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

(Randy Wirayudha)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya