PAWAI terpanjang atau long march termasif terjadi di China pada 16 Oktober 1934. Kala itu di tengah Perang Sipil yang berkecamuk di Negeri Panda, Partai Komunis China (PKC) melancarkan taktik gerilya ke garis pertahanan musuh, yakni Partai Kuomintang (Nasionalis) dengan memulai perjalanan terpanjangnya.
Berangkat dari markas mereka di barat daya China, Provinsi Jiangxi pada pukul 17.00, lebih dari 86 ribu tentara, 15 ribu personel dan 35 perempuan kabur dari medan perang dan berpencar ke wilayah barat dan utara. Menurut catatan History, Minggu (16/10/2016), jarak yang ditempuh mencapai lebih dari 9.600 kilometer dan baru bisa diselesaikan selama 370 hari.
Dengan demikian, pawai panjang itu bukan hanya satu saja tetapi merupakan serangkaian pawai dalam jangka waktu yang relatif lama. Long March (1934-1935) faktanya ditandai dengan kemunculan pemimpin tak terbantahkan di tubuh PKC, Mao Zedong. Didampingi Zhou Enlai, Mao mengomandoi taktik gerilya terbesar untuk menghancurkan lima benteng pertahanan Chiang Kaisek.
Senjata dan perlengkapan tersandang di bahu para pria. Beberapa amunisi dan persenjataan yang lebih berat dibawa dengan gerobak yang ditarik kuda. Lapar dan haus menjadi sahabat setia dalam perjalanan yang serasa tak berujung itu.
Pergerakan kelompok Mao pun jelas tak mudah, dengan jumlah sebanyak itu posisi mereka dapat dengan mudah terlacak oleh musuh yang terus berjaga. Alhasil mereka harus mengendap-endap. Bergerak lebih cepat hanya pada malam hari tanpa penerangan apapun. Dan kalau lokasi aman dari musuh baru lah mereka berani menyalakan obor. Pada masa itu, cahaya suar itu bisa terlihat kecil-kecil mengular dari lembah ke bukit-bukit nun jauh di sana.
Bagi Mao taktik politik ini adalah opsi terbaik untuk mengacaukan musuh. Sedikitnya 24 sungai diseberangi dan 18 gunung didaki.
Sesampainya di Sungai Xiang (Provinsi Hunan), bencana pertama melanda Mao dan pasukannya. Tentara Nasionalis ada di sana, mereka memblokir jalannya PKC. Butuh seminggu bagi Mao dan Zhou menerobosnya. Dan ketika mereka berhasil meruntuhkan pertahanan nasionalis, 50 ribu pasukan telah kehilangan nyawa.
Pertempuran itu terjadi pada November 1934. Kalah perang, jabatan Mao sebagai ketua dicabut. Namun pada Januari, dia mendapat kembali pengaruhnya dan melancarkan strategi baru yang lebih rumit. Pasukan dipencarkan, tidak ada lagi perang muka ketemu muka. Jalur yang diambil bahkan benar-benar membingungkan Kuomintang.
Tujuan utama PKC satu, Provinsi Shaanxi yang terletak di barat laut daratan China. Di sana lah pasukan Jepang sedang melebarkan sayap kekuasannya ke Negeri Tirai Bambu. Mao mengambil kesempatan ini untuk menggelorakan dua lemparan batu sekaligus, kalahkan partai pesaing dan pukul mundur penjajah.
Hampir setahun berlalu. PKC membuktikan pertahanan dirinya. Meski tak ingin lagi menggempur langsung musuh ke medan perang, pertempuran kecil-kecilan tetap ada. Serangan udara pun tidak sedikit. Namun jumlah pasukan tidak berkurang sedrastis waktu pengepungan pada November itu.
Empat dari lima benteng pertahanan Nasionalis berhasil mereka robohkan. Namun benteng terakhir di Shaanxi gagal diserbu. Pasukan berkuda Chiang bermodalkan lima machine gun telah menunggu di Tembok Besar China. Posisi PKC dikunci. Mao pun mati kutu.
Pada 20 Oktober 1935, pawai panjang gerilya PKC berakhir. Hanya 4.000 pasukan yang bertahan sampai akhir perjalanan. Meski kalah pada pertempuran kali ini, Mao memimpin perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme Jepang dan menang pada 1945. Perang Saudara di China masih berlanjut sesudahnya, tetapi Dewi Fortuna pada akhirnya berpihak kepada Mao. Partai Komunis China pun berjaya hingga sekarang.
(Rahman Asmardika)