SEJAK dulu Aceh seolah jadi tanah petarung. Tidak hanya tokoh laki-laki yang punya dawat (tinta) harum dalam sejarah, tapi juga para “singa betinanya”.
Makanya dari berbagai kisah epik di masa kolonial Hindia Belanda, “Bumi Rencong” acap mencatatkan nama-nama besar wanita petarung. Sebut saja Laksamana Keumalahayati, Cut Nyak Meutia dan tentunya Cut Nyak Dhien.
Nama terakhir inilah yang sedikit banyak ingin diulas penulis, terutama tentang masa-masa “senjanya” hingga saat-saat wanita bangsawan ini menemui ajalnya di Sumedang, Jawa Barat.
Cut Nyak Dhien kita tahu, terlibat di beberapa kisah dalam Perang Aceh. Perang yang paling melelahkan dan paling lama harus diladeni pemerintah Hindia Belanda (1873-1904).
Cut Nyak Dhien sendiri awalnya bersuamikan Ibrahim Lamnga di usia yang sangat muda. Disebutkan, Dhien punya satu putra laki-laki sebelum ditinggal jadi janda pasca-suaminya tewas dalam pertempuran.
Sebagai janda, Dhien banyak dilamar para bangsawan lainnya yang ditolaknya mentah-mentah. Hanya satu, Teuku Umar yang akhirnya diterima Dhien sebagai suami keduanya, kendati usia Teuku Umar masih lebih muda dan sudah punya istri lain.
Bersama Teuku Umar, Dhien dikaruniai seorang putri, Cut Gambang yang nantinya terus bersama sang ibu bergerilya di pedalaman Aceh. Dhien mau diperistri Teuku Umar dengan syarat, boleh ikut bertempur demi membalas dendam kematian suami pertamanya.
Tapi nahas, suami keduanya, Teuku Umar pun juga mati syahid dalam pertempuran. Seiring berjalannya waktu dalam masa-masa gerilya enam tahun, pasukannya yang awalnya berjumlah 300 prajurit di dalam hutan, kian menyusut hingga hanya enam orang pada 1905.
Kondisi kesehatan Dhien pun memburuk, hingga menimbulkan rasa iba tak terbendung dari salah satu orang kepercayaannya, Pang Laot Ali. Seperti dikutip buku ‘Sejarah Kecil, Petite Histoire Indonesia Volume 1', atas dasar iba itulah Pang Laot Ali mengkhianati Dhien.
Diam-diam, Pang Laot Ali menemui komandan serdadu Belanda, Kapten Veltman dan bersedia memberi tahu persembunyian Dhien dengan syarat, Dhien akan diperlakukan dengan baik dan hormat.
Maka pada 4 November 1905 di sebuah pedalaman hutan Meulaboh, Dhien dan sisa-sisa pasukannya disergap. Beberapa tewas, tapi yang lain melarikan diri termasuk anaknya Cut Gambang.
Saat tembak-menembak reda, datang Kapten Veltman menemui Dhien yang tengah terduduk dan berzikir. Beberapa anak buahnya sudah membawa tandu untuk membawa Dhien karena kondisinya sudah rabun, sering encok dan lemah.
Sang kapten meminta Dhien menyerahkan diri dengan sopan kendati dibalas sikap Dhien yang tetap bergeming. Bujukan itu tak mempan dan terpaksa Pang Laot mendekati Dhien yang sontak dibalas cercaan.
“Pengkhianat busuk. Lebih baik kasihani aku dengan menikam daku mati,” seru Dhien kepada Pang Laot di novel ‘Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh’ karya Madelon Székely-Lulofs.
Setelah kemarahannya bisa diredam serdadu Belanda, Dhien hanya bisa meratap dan ‘curhat’ pada Yang Maha Kuasa. “Ya Allah, Yang Maha Kuasa. Mestikah Engkau melakukan ini atas diri saya? Menyerahkan saya ke tangan kaphee (kafir) dalam bulan puasa ini?,” cetusnya.
Belanda kemudian menepati janjinya dengan memperlakukan Dhien dengan baik. Meski dibuang dari Aceh ke tanah pasundan, tepatnya Sumedang, Dhien diperlakukan dengan layak dan hanya dijadikan tahanan rumah.
Di Sumedang ketika dibawa Belanda hingga ditemui Bupati Sumedang saat itu, Pangeran Aria Suriaatmaja, Dhien ditempatkan di sebuah rumah dengan ditemani seorang ulama, KH Ilyas.
Di Sumedang, bara perlawanannya tak lagi menyala dan justru di masa senjanya, “Singa Betina” dari Aceh itu mulai meninggalkan hal-hal duniawi. Selama masa pengasingannya ini juga warga sekitar tak ada yang tahu bahwa yang tinggal bersama KH Ilyas itu adalah bangsawan dan juga petarung Aceh, Cut Nyak Dhien.
Dia di masa pengasingan hanya dikenal dengan sebutan “Ibu Perbu” karena punya ilmu agama yang tergolong sangat baik. Bahkan, Dhien disebutkan sering memberikan dakwah dan pengajian dalam bahasa Arab.
Dhien atau warga Sumedang menyebutnya “Ibu Perbu”, akhirnya tutup usia pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Tabir bahwa Ibu Perbu itu adalah Cut Nyak Dhien, baru tersingkap pada 1958-1960 saat Pemda Aceh melakukan penelusuran.