SUATU siang dengan cuaca mendung yang kemudian perlahan air hujan berjatuhan saat berperjalanan di Kota Patriot, Bekasi, penulis terpaksa berteduh di suatu halte di Jalan Ir H Juanda. Bosan dengan pemandangan macet di jalan saat berteduh, arah mata berpaling ke belakang yang lantas menggugah rasa penasaran.
Pasalnya tepat di seberang rel kereta dekat pertigaan Bulak Kapal itu tampak kompleks permakaman yang lain dari lainnya. Ya, ternyata itu Taman Makam Pahlawan (TMP), tempat bersemayamnya para petarung republik di masa perang kemerdekaan.
Tergugah rasanya untuk menengok. Hati kecil pun menggerakkan langkah saat gerimis mulai reda. Timbul rasa penasaran yang kian besar saat sudah tiba di gerbang pagar berkarat dengan plang besi bertuliskan ‘Taman Makam Pahlawan Patriot Bangsa’.
Penulis sebagai warga “baru” di Kota Bekasi merasa perlu tahu tempat ini, kompleks pemakaman yang tampaknya jauh dari kesan angker. Lagi pula, bagaimana kita bisa jadi warga Kota Bekasi yang baik jika tidak meresapi makna julukan Kota Patriot?
Dari berbagai wawancara dan literatur tentang Bekasi, kawasan ini dulunya bukan sembarang area. Bekasi sempat jadi “pintu gerbang” republik dan para pahlawannya dari rongrongan sekutu dan Belanda, hingga baru bisa dijebol pertahanannya lewat aksi besar-besaran Agresi Militer I Belanda Juli 1947.
Bekasi di masa revolusi adalah daerah “panas”. Daerah berkumpulnya tidak hanya tentara republik yang “hijrah” dari Jakarta, tapi juga beragam laskar. Bahkan, Bekasi tidak menjadi tempat bentrokan pejuang republik dengan sekutu dan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) saja, tapi juga clash tentara republik versus laskar.
Begitu banyak kisah heroik di Bekasi yang sayangnya luput dari catatan sejarah selama ini. Sayangnya pula, takkan cukup tempat jika menjabarkan satu per satu peristiwa-peristiwa besarnya yang tak kalah bikin geger jika dibandingkan dengan kisah-kisah perjuangan di Bandung, Medan, Bali, Yogyakarta, Malang, dan Surabaya.
Sapaan ramah menyambut penulis dari seorang penjaga bernama Suharto, setelah sejenak memarkirkan motor di halaman parkir dekat rel kereta. Pria paruh baya yang meminta dipanggil Toto itu mempersilakan masuk jika ingin “melihat-lihat”.
Seperti halnya beberapa TMP, seperti TMP di Margarana Bali, TMP Ksatria Tumbang Ganti Tanjungpandan Belitung, TMP Dreded Bogor, hingga TMP Kalibata, beberapa pusara bertuliskan pahlawan “tak dikenal” turut ada di permakaman yang berada di bawah naungan Dinas Sosial Kota Bekasi itu.
Sayangnya, tak ada satu pun tokoh pejuang yang cukup dikenal di sini. Beberapa tokoh pejuang yang menyabung nyawa di area Bekasi pada masa revolusi 1945–1949 sebagian besar dimakamkannya di TMP Kalibata.
“Iya dari 235 makam yang ada di sini, memang enggak ada tokoh yang cukup dikenal, mas. (Ulama pejuang) KH Noer Ali saja kan dimakamkannya di dekat pesantren yang didirikannya (Attaqwa),” terang Toto kepada Okezone saat menemani melihat-lihat sejumlah makam di dalamnya.
“Kalau Muffreini (Mu’min, eks Komandan Resimen V Cikampek yang membawahi front timur Jakarta) juga dimakamkannya di Jakarta (TPU Tanah Kusir). Begitu juga dengan Sambas Atmadinata. Kalau Madmuin Hasibuan malah enggak tahu di mana dimakamkannya,” imbuhnya.
Sepi memang TMP yang turut dihiasi dua relief perjuangan dan lima pilar berbahan keramik serta burung Garuda Pancasila di tengah-tengahnya, kendati di depan TMP ini sering jadi satu dari sekian titik macet di Kota Bekasi.
“Ramainya kalau jelang upacara hari-hari nasional saja, mas. Biasanya malah saya diminta cari orang lagi buat nyiapin ini itu sebelum upacara. Kalau hari-hari biasa ya paling seperti ini, hanya dijaga saya dan beberapa kawan yang ikut bersih-bersih,” tambah Toto yang sudah jadi ‘kuncen’ sejak 2012 itu.
Obrolan santai pun berlanjut ke sebuah ruangan mirip kantor kecil di sisi kanan TMP. Sebuah sofa sederhana dan kopi panas, turut menghidupi nuansa yang lebih akrab dan momen itu turut menggerakkan penulis bertanya soal keseharian dan kesejahteraan para penjaga TMP.
“Sebelumnya mah kita diupah seikhlasnya saja. Tapi mulai 2015–2016, mulai lumayan, teratur Rp1,3 juta per bulan. Nah, katanya sih Januari (2017) ini kita upahnya mau dinaikin jadi Rp3 juta. Kita alhamdulillah saja kalau memang ada peningkatan, kan memang butuh juga. Tapi ya baru diajukan itu (ke Pemda), sekarang mah belum terima segitu (upah Rp3 juta),” sambungnya.
“Kalau jam kerja ya biasa kayak yang lain orang kerja. Mulai bersih-bersih jam 8 (pagi), selesai jam 4 atau jam 5 sore. Pagar depan memang sudah rusak, jadi enggak bisa kita tutup rapat kalau pas pulang,” tutur Toto lagi.
Dulu karena saking sepi dan tak dijaga 24 jam, TMP tersebut sering jadi “sarang waria” menjajakan jasa seks. Kadang dijadikan tempat mesum muda-mudi yang tentunya sangat disayangkan bagi tempat terhormat macam TMP ini.
“Iya dulu karena enggak ada yang jaga 24 jam, sering jadi tempat mangkal banci (waria). Jadi tempat mesum juga. Seingat saya dari cerita-cerita para penjaga yang dulu, terakhir dijaga 24 jam dari garnisun (tentara) itu tahun 2008,” ungkapnya.
“Tapi karena pernah ada kejadian seram, enggak pernah lagi ada yang jaga 24 jam. Iya dulu katanya pernah ada tentara yang ditakut-takuti pocong pas jaga malam di ruangan ini. Pernah juga ada kejadian orang laki ditemuin mati kaku habis berbuat mesum di sekitar permakaman,” tambah Toto.
“Kalau sekarang sudah enggak lagi. Karena kita para penjaga kasih pengertian ke orang-orang yang suka nongkrong di sini. Boleh saja main di sini, karena namanya juga taman makam pahlawan. Bukan hanya permakaman, tapi juga ada taman, tapi ya janganlah berbuat yang enggak-enggak, harus menghormati juga yang dimakamkan di sini,” tuntasnya.