JAKARTA - Pemandangan di kamp-kamp pengungsian Muslim Rohingya di Cox's Bazaar, Bangladesh, amat memprihatinkan. Ribuan bangunan temporer dari rerantingan atau kayu seadanya dan beratap plastik berdiri berhimpitan, tumbuh subur ibarat cendawan di musim hujan. Dan kala hujan benar-benar turun, lantai tanah berubah menjadi kolam lumpur, semua terendam.
Setali tiga uang dengan kondisi fisik bangunan, kehidupan di kamp pengungsian yang dihuni sedikitnya 700 ribu Muslim Rohingya itu juga amat mengenaskan. Mereka kekurangan bahan pangan, bahkan juga mengalami berbagai masalah kesehatan.
Krisis kemanusiaan ini menggugah banyak pihak dari berbagai negara untuk membantu. Tak terkecuali Pemerintah Indonesia. Selain 20 ton bantuan resmi dari Pemerintah Indonesia, uluran tangan untuk Muslim Rohingya juga datang dari berbagai kalangan di Tanah Air.
Salah satu organisasi nirlaba profesional di Indonesia yang bekerja untuk penanggulangan bencana mulai fase darurat sampai dengan fase pemulihan pascabencana, Aksi Cepat Tanggap (ACT) bahkan berencana membangun 1.000 shelter untuk pengungsi Rohingya di Bangladesh. Sebelumnya, ACT telah mengirimkan bantuan berupa bahan pangan, baju dan tenda.
Kini, melalui program mereka, Rohingya 'Recovery and Reconstruction', ACT akan membangun shelter berbentuk rumah semi permanen itu nantinya akan dibangun dari paduan beton dan kayu. Presiden ACT, Ahyudin, menjelaskan, rumah semi permanen tersebut akan dibangun dengan ukuran 25 meter persegi.
"Insya Allah kami akan meluncurkan program 1.000 shelter. Namun jangan Anda bayangkan jika shelter ini hanya berupa plastik atau tenda. Kita akan membangun rumah nyaman sederhana yang terbuat dari beton dan kayu untuk kepentingan jangka panjang. Ini rumah nyaman layaknya rumah kita hanya saja disebut shelter," ujar Ahyudin dalam konferensi pers di Menara 165, Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2017).
Ahyudin menambahkan, pembangunan rumah bagi pengungsi Rohingya tersebut akan dilakukan oleh kontraktor lokal di Bangladesh. Ia menyebut, jika tidak ada perubahan rencana, maka peresmian pembangunan akan dilaksanakan pada Senin pekan depan.
Seribu shelter ini rencananya akan dibangun di 10 kamp pengungsian di Kutapalong, Bangladesh. Tiap kamp rencananya akan terdiri dari 100 unit shelter. Nantinya shelter-shelter yang dibangun di tiap kamp akan dilengkapi dengan masjid, madrasah dan pasar.
"Kami tidak memilih kontraktor tunggal. Ada 10 kontraktor karena shelter ini akan dibangun di 10 kamp. Kami akan bikin masjid, bikin pasar dan kami juga akan bikin madrasah untuk pendidikan anak-anak Rohingya. Sementara, kami membuat pasar ini supaya mereka tidak selamanya bergantung pada bantuan sebagai wujud nyata semangat untuk membangun kehidupan mereka, " imbuh Ahyudin.
Dana yang disiapkan ACT untuk mewujudkan misi ini diketahui total sekira Rp25 miliar. Pembangunan ini dilaksanakan dengan didasarkan dengan sistem wakaf yang dibiayai dari para donatur.
(Foto: Rufki)
ACT sendiri saat ini fokus untuk membantu pengungsi Rohingya kembali membangun kehidupan normal. Tak hanya fokus memberi bantuan, ACT berniat untuk memberdayakan warga Rohingya agar bisa mandiri di masa depan.
"Masjid harus dibangun adalah salah satu langkah untuk memberdayakan masyarakat dari sisi spiritual. Kita juga harus menyelenggarakan pendidikan untuk pengungsi dengan membangun madrasah. Apa jadinya jika anak-anak pengungsi selamanya tidak mendapat akses pendidikan? Maka ini adalah bagian dari pemberdayaan di bidang pendidikan. Pembangunan pasar sebagai bentuk pemberdayaan dari segi ekonomi. Ini dibutuhkan demi membangun kehidupan normal," terang Ahyudin.
Ahyudin mengakui pada dasarnya 1.000 shelter ini belum cukup untuk menampung seluruh jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh. Sebagaimana diketahui terdapat lebih dari 400 ribu Rohingya di Bangladesh dan untuk menampung semuanya dibutuhkan lebih dari 100 ribu shelter.
Meski memiliki keterbatasan, pelaksanaan misi pembangunan ini bertujuan untuk membuktikan pada dunia bahwa Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara melaksanakan tugas dan perannya dengan baik. Hal ini juga ditujukan sebagai pancingan atau contoh untuk lebih menarik dukungan dunia internasional terhadap Rohingya.