“Dengan menggunakan gadget milik orang tua berarti setidaknya kita bisa mengontrol apa yang mereka akses. Dan yang terpenting mereka menyadari jika gadget itu bukan miliknya sehingga bisa kita minta kapan saja,” sambung dia.
Meski sudah dibatasi, bukan berarti pengawasan menjadi lemah. Perempuan asal Kuningan Jawa Barat itu masih menyatakan kekhawatiran anak-anaknya lalai dengan kewajiban sebagai pelajar. Untuk itu, jika dirasa terlalu lama memegan ponsel pintar, dia tak bosan mengingatkan akan kewajiban anak-anaknya.
“Yang membuat khawatir adalah tentang belajarnya karena lebih asyik dengan HP, lupa akan tugas-tugas sekolah. Kemudian juga aktivitas sehari-hari, akhirnya mereka lebih banyak diingatkan untuk mandi, salat, makan. Mereka lupa waktu-waktu tersebut atau kegiatan-kegiatan itu saking asyiknya main gadget,” bebernya.
Selain pembatasan waktu penggunaan gadget, anak-anak juga harus terbuka kepada orangtua tentang segala yang diakses. Dengan cara itu, orangtua bisa mengawasi dan mengarahkan konten-konten yang boleh dibuka atau sama sekali dilarang mengakses.
“Ketika mereka menggunakan gadget, laptop, handphone, itu di depan orangtua. Bukan berarti di depan persis, tapi misalnya kamar tidak dalam keadaan tertutup, kemudian nonton laptop juga bersama. Itu salah satu kenapa saya masih memberikan kesempatan mereka untuk memberikan gadget, karena dalam masih dalam controlling saya,” urainya.
Sebagai ibu dengan dua anak yang telah berinteraksi dengan gadget, Enih kerap menyampaikan tentang bahaya dan manfaat teknologi informasi. Di antaranya tidak memberikan identitas kepada orang asing. Selain itu, dia juga aktif memantau grup percakapan anak-anak untuk memastikan kegiatan mereka masih dalam koridor yang benar.