Ia memaparkan bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum tidak mengenal izin dari kepolisian untuk menggelar aksi unjuk rasa. UU tersebut, kata Tito, hanya mengatur tentang kewajiban demonstran untuk memberitahukan aksi demonstrasinya kepada pihak kepolisian.
"Kemudian penyampaian pendapat itu tidak bersifat absolut, artinya saya ingin berunjuk rasa sebebas-bebasnya, tidak. Selama ini banyak yang salah kaprah, tolong baca betul UU itu," papar Tito.
Baca juga: TNI-Polri Gelar Apel Pengamanan Pelantikan Presiden dan Wapres
Dia melanjutkan, Pasal 6 UU 9/1998 mengatur lima batasan dalam melakukan unjuk rasa. Pertama, tidak boleh mengganggu ketertiban umum. Kedua, tidak boleh mengambil HAM orang lain. Ketiga, harus menjaga etika dan moral. Keempat, massa harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
"Kalau ini dilanggar, ada Pasal 15 yang mengatur bahwa unjuk rasa yang mengatur Pasal 6 itu dapat dibubarkan. Kalau dalam pembubaran itu ada perlawananan, maka ada pasal lain yakni Pasal 211–218 KUHP untuk saudara diperingatkan. Tiga kali diperingatkan tidak bubar, itu sudah pelanggaran Pasal 218. Walaupun ringan ancamannya itu tetap ada prosedur hukumnya," terang Tito.
Baca juga: Panglima: TNI-Polri Siap Amankan Pelantikan Presiden dan Wapres
Ia menegaskan bahwa demonstran bisa dipidana bila saat dibubarkan melakukan perlawanan. Apalagi, lanjut dia, sampai mengakibatkan korban dari aparat TNI-Polri yang melakukan pengamanan aksi demonstrasi.
"Kalau seandainya ada perlawanan yang mengakibatkan korban dari petugas itu ada ancamannya lagi," pungkasnya.
(Hantoro)