Fahri menambahkan, pranata pembatasan kekuasaan presiden secara filosofis adalah tidak terlepas dari konsekwensi penerapan sistem pemerintahan presidensial, karena secara hukum tata negara disebutkan bahwa kedudukan dan eksistensi presiden sebagai kepala negara (head of state) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (chief of excekutif) yang memiliki kekuasaan sangat besar.
“Dengan demikian maka secara doktrinal harus mutlak dibatasi oleh konstitusi, dan hal ini telah diterima secara universal sebagai sebuah konsep rasional dan relevant untuk sebua inih negara demokrasi,” kata Fahri.
Fahri menuturkan, kekuasaan kepala negara dibatasi oleh UUD meliputi isi dan substansi kekuasaan, serta pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan waktu dijalankannya kekuasaan negara tersebut.
“Jadi mengenai masa jabatan presiden sebenarnya konsep pembatasan yang diatur dalam norma Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 sebagai hasil amandemen pertama masih sangat relevan, serta sejalan dengan konsep negara demokrasi konstitusional,” katanya.
Fahri meminta agar kemajuan konsep negara demokrasi konstitusional yang sudah terbangun secara baik selama ini tidak mengalami kemunduran. Sebab, sistem dua periode baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut dalam periode masa jabatan presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi telah sangat konstruktif.
“Bahwa berbagai wacana perpanjangan masa jabatan presiden saat ini adalah sebuah diskursus yang wajar saja dan tidak perlu dibesar besarkan. Tentunya setiap gagasan dan usulan idealnya disertai dengan kajian yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan," katanya.
Artinya, harus mempunyai basis akademik kuat dan komprehensif terkait dengan urgensi serta konteks usulan seperti itu. Karena ini berkaitan dengan sistem tata negara yang diatur dalam konstitusi.
"Dengan demikian maka harus terhindar dari gagasan serta usulan yang bersifat parsial dan kering nilai filosofisnya,” ujarnya.
(Khafid Mardiyansyah)