PBB Memperingatkan Pandemi Virus Corona Bisa Menjadi Krisis HAM

Rachmat Fahzry, Jurnalis
Kamis 23 April 2020 17:21 WIB
Sekjen PBB Antonio Gutteres. (Foto/PBB)
Share :

NEW YORK - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan pandemi virus corona bisa memberikan alasan kepada sejumlah pemerintah di dunia untuk mengambil langkah-langkah represif untuk menekan penyebaran virus corona,

Namun langkah-itu, menurut Gutteres berisiko menjadi krisis hak asasi manusia (HAM).

Dalam laporan yang dirilis, Kamis (23/4/2020) Guterres menyoroti bagaimana hak asasi manusia harus memandu respons dan pemulihan terhadap krisis kesehatan, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi dunia.

Menurut data Universitas Johns Hopkins, virus corona, yang menyebabkan penyakit pernapasan COVID-19, telah menginfeksi lebih dari 2,6 juta orang di seluruh dunia, dan menyebakan 183.120 meninggal. Virus ini pertama kali muncul di kota Wuhan, China pada Desember 2019.

"Kami melihat efek yang tidak proporsional pada komunitas tertentu, meningkatnya kebencian, penargetan kelompok-kelompok rentan, dan risiko tanggapan keamanan yang tidak wajar merusak respons kesehatan," kata Guterres.

Laporan PBB mengatakan migran, pengungsi dan pengungsi internal sangat rentan. Dikatakan lebih dari 131 negara telah menutup perbatasan mereka, hanya 30 negara yang mengizinkan pengecualian bagi para pencari suaka.

"Terhadap latar belakang meningkatnya etno-nasionalisme, populisme, otoritarianisme, dan penolakan terhadap hak asasi manusia di beberapa negara, krisis dapat memberikan dalih untuk mengambil langkah-langkah represif yang tidak terkait dengan pandemi," katanya.

"Ini tidak bisa diterima."

PBB tidak memberikan contoh spesifik tentang tindakan tersebut.

Laporan pelanggaran

Di China, orang-orang yang berbicara tentang wabah virus corona, termasuk dokter, telah diperiksa oleh polisi dan ditahan secara sewenang-wenang.

Pemimpin Kamboja Hun Sen juga dituduh mengeksploitasi virus corona untuk mengakumulasi lebih banyak kekuatan, menindak perbedaan pendapat.

Amnesty International merilis laporan yang mengatakan pemerintah di Thailand, menuntut pengguna media sosial yang mengkritik pemerintah atau kerajaan dan menghapus segala bentuk perbedaan pendapat.

"Melalui pelecehan dan penuntutan terhadap para pencela daringnya, pemerintah Thailand telah menciptakan iklim ketakutan yang dirancang untuk membungkam mereka yang memiliki pandangan berbeda," kata Clare Algar, direktur senior penelitian, advokasi dan kebijakan Amnesty International.

Pertanyaan juga telah diajukan tentang apakah polisi telah menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk menegakkan protokol lockdown di Eropa.

Guterres meminta pemerintah untuk transparan, responsif dan akuntabel dan menekankan bahwa ruang sipil dan kebebasan pers adalah "kritis".

"Respons terbaik adalah respons yang proporsional terhadap ancaman langsung sambil melindungi hak asasi manusia dan supremasi hukum," ujarnya.

Dengan ditutupnya bisnis dan ratusan juta orang disuruh tinggal di rumah untuk menghindari penyebaran virus, Dana Moneter Internasional telah meramalkan dunia akan mengalami penurunan tertajam sejak Depresi Hebat pada 1930-an.

Laporan PBB mengatakan pandemi itu menciptakan kesulitan lebih lanjut bahwa "jika tidak dikurangi, akan meningkatkan ketegangan dan dapat memprovokasi kerusuhan sipil".

"Dalam semua yang kita lakukan, jangan pernah lupa: Ancamannya adalah virus [corona], bukan manusia," kata Guterres.

(Rachmat Fahzry)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya