RENCANA Pemerintah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masih jadi perdebatan. Di tengah peningkatan jumlah kasus warga positif terjangkit virus corona, relaksasi dianggap hanya akan membuat "ambyar" proses pencegahan yang selama ini dilakukan. Pemerintah juga bakal dianggap tidak konsisten dalam mengeluarkan kebijakan.
Hal ini sebenarnya disadari Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang mengingatkan jajarannya untuk hati-hati dalam melakukan relaksasi PSBB. Kepala Negara menekankan, kebijakan tersebut harus dibarengi data di lapangan agar efektif.
World Health Organization (WHO) juga sudah mengingatkan kepada negara di dunia, untuk tak mencabut status lockdown atau pembatasan sosial yang dilakukan. Sejumlah negara yang melonggarkan pembatasan sosial kembali mengalami peningkatan kasus infeksi virus corona.
Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesusm menyarankan, Negara harus terlebih dulu mampu mengendalikan epidemi, sebelum mencabut pembatasan sosial. Selain itu, negara juga harus bisa memastikan sistem kesehatannya mampu mengatasi potensi penularan kembali dan memiliki pengujian yang diperlukan untuk melacak serta mengisolasi infrastruktur yang ada.
Baca juga: Update Covid-19 di Indonesia 12 Mei 2020: Positif 14.749, Sembuh 3.063 & Meninggal Dunia 1.007
Berkaca dari saran WHO, PSBB di Indonesia sejak dimulai oleh DKI Jakarta pada 10 April 2020, telah berhasil membuat kurva kasus postif menjadi landai, meskipun belum signifikan menurunkan angka penyebaran virus corona. Tren positif ini dikhawatirkan kembali buyar jika PSBB dilonggarkan.
Pengamat Sosial UI, Rissalwan Habdy Lubis menilai, akan jadi blunder jika PSBB yang saat ini terkesan belum ditaati secara serius oleh masyarakat, kemudian dilonggarkan. Dia khawatir, aturan yang dilonggarkan akan meningkatkan angka kasus penularan secara ekstrem.
"Kalau cuma dengan imbauan, ditambah lagi PSBB ini enggak efektif, publik makin merajalela. Artinya double nih, bisa ekstrem lagi naiknya. Sementara kalau kita melihat dari segi data tadi, sebetulnya data itu juga enggak real karena cara test kita kan enggak efektif. Jadi data kita itu enggak bisa diandalkan juga. Jadi sebetulnya bisa jadi gunung es angka itu, data-data yang disajikan itu gunung esnya lebih besar daripada data real," kata Rissalwan kepada Okezone, Selasa (12/5/2020).
Inkonsistensi Pemerintah