Hitung-hitungan menurut data, setidaknya ada 1.600 senjata nuklir strategis milik Rusia dan 1.900 yang berupa senjata taktis. Sementara di sisi NATO, ada Perancis dengan sekitar 280-290 hulu ledak nuklir, kemudian Inggris yang memiiki 120 senjata serupa. Belum lagi senjata-senjata nuklir milik Amerika Serikat, yang selama ini ditempatkan di Belgia, Belanda dan Turki. Selain itu, tentu saja adalah ribuan hulu ledak nuklir milik Amerika Serikat sendiri.
“Ketika Rusia menggunakan senjata nuklir, dia tidak akan bisa membatasi dampaknya hanya di Ukraina, dan kita tahu perbatasan Ukraina adalah negara-negara anggota NATO. Ketika satu negara NATO terdampak, mereka bisa mengaktikan Artikel 4, untuk secara gotong royong melibatkan diri di dalam konflik,” kata Muhadi.
Situasi saat ini, lanjut Muhadi, sangat genting. Bukan hanya perang nuklir itu saya yang mengerikan, tetapi juga dampak jangka panjangnya. Umat manusia di seluruh dunia akan hidup dalam bayang-batang senjata nuklir, jika itu sampai terjadi.
Indonesia Bertumpu pada Diplomasi
Seburuk apapun kondisi ke depan, Indonesia tetap akan menerapkan peran dengan pendekatan diplomasi. Penegasan itu disampaikan Brigjen TNI Binsar Sianipar, Direktur Kerja Sama Internasional Pertahanan, Kementerian Pertahanan dalam diskusi yang sama.
Binsar menegaskan, Indonesia menentang invasi terhadap negara berdaulat. Namun, yang bisa dilakukan saat ini adalah membangun kerja sama lebih baik dengan semua negara di seluruh kawasan.
“Di Kementerian Pertahanan sendiri, sebelum terjadinya invasi ini, kita terus melakukan komunikasi intens dengan semua negara. Melakukan diplomasi pertahanan, dan itu bagian kebijakan kita untuk mengantisipasi terjadinya konflik sekecil apapun dengan semua negara, sampai dengan konflik bersenjata yang mengunakan senjata nuklir,” ujar Binsar.
Sejauh ini, Kementerian Pertahanan aktif memanfaatkan ASEAN Defence Ministers' Meeting (ADMM) untuk upaya tersebut. Indonesia tegas menyuarakan kepada seluruh pihak, untuk tidak menggunakan senjata nuklir dalam penyelesaian konflik.
Forum ADMM, kata Binsar, juga memiliki kelompok kerja untuk membahas masalah ini. Pembicaraan juga dilebarkan menjadi ADMM Plus, dengan delapan negara lain yang turut terlibat. Mereka adalah Amerika Serikat, Australia, China, India, Jepang, Korea, Rusia dan Selandia Baru.
“Yang bisa kita lakukan paling efektif adalah menggunakan komunikasi diplomasi, baik bilateral maupun mutilateral, khususnya melalui ADMM Plus ini,” lanjutnya.
(Khafid Mardiyansyah)