JAKARTA - Ketika pemerintah Indonesia berusaha keras “melayani” segala permintaan sekutu soal kedatangan militernya ke Indonesia, ancaman nyata sudah sangat terasa. Belanda memanfaatkan momentum tersebut demi menancapkan kekuatan militernya.
Keadaan kian menggelisahkan. Terlebih saat pasukan marinir Belanda dengan seragam Amerika Serikat (AS) ikut menjejakkan kaki di Indonesia sejak 30 Desember 1945. Ketika sekutu “sibuk” mengurusi tawanan pasukan Jepang dan membebasan tawanan interniran, Belanda ikutan “sibuk” menyiapkan militernya.
Hal ini bertujuan tentu untuk kembali menguasai nusantara setelah sekutu dirasa selesai dengan tugasnya, sekaligus “menciptakan ketertiban” di Indonesia. Terlebih, sejumlah aksi hingga menimbulkan bentrokan acap tak terhindarkan, khususnya setelah pertempuran 10 November 1945.
Marinir Belanda ikut membantu sekutu “membersihkan” Kota Surabaya ke sejumlah wilayah pinggiran selatan. Salah satunya pada 11 Mei 1946.
Marinir Belanda “Divisi A” semestinya sudah datang ke Surabaya dengan sejumlah kapal sekutu dari Singapura. Pasukan di bawah komando Kolonel Mattheus Reindert de Bruyne, pada 15 Maret 1946, itu untuk mengambil alih pengawasan Kota Surabaya dari pasukan Inggris Divisi Kelima India.
“Itu ketika Marinir Belanda belum lama mendarat di Surabaya, ikut aksi pembersihan di pinggiran Surabaya, di antaranya Buduran, Sedati arah selatan, Kota Sidoarjo untuk membantu sekutu,” kata penggiat sejarah Bogor Historical Community, Wahyu Bowo Laksono, melansir pemberitaan Okezone.
Dalam aksi pembersihan dan kontra-intelijen, Marinir Belanda itu tak terhindarkan terjadi beberapa baku tembak dengan pihak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pimpinan Kolonel Soengkono maupun Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP).
“Pasukan yang bentrok dengan Marinir Belanda di Surabaya dan front Buduran, Sedati, campuran dari pasukan TRIP dan TKR pimpinan Kolonel Soengkono,” tambahnya.