PENGATURAN sistem pemerintahan dibuat sedemikian rupa oleh Kerajaan Majapahit di awal berdirinya. Beberapa pejabat strategis dibentuk untuk memudahkan kerja raja melayani masyarakatnya, tak jarang akhirnya menjadi rebutan dan mengawali terjadinya suatu pergolakan internal istana sendiri.
Menariknya dari berbagai jabatan yang ada di istana, Kakawin Nagarakretagama menjelaskan adanya jabatan Sang Panca Wilwatikta yang mempunyai hubungan rapat dengan istana. Pada pupuh karangan Mpu Prapanca ini dijelaskan Sang Panca Wilwatikta adalah lima orang pembesar dalam pemerintahan Majapahit, menjadi pembantu utama sang prabu dalam urusan pemerintahan.
Di antara lima pembesar tersebut, patih adalah yang tertinggi. Nagarakretagama pupuh 10/2 menyebutnya amátya ring sanágara : patih seluruh negara. Sebagaimana dijelaskan Prof. Slamet Muljana pada "Tafsir Sejarah Nagarakretagama", sebutan itu hanya diperuntukkan bagi patih Majapahit untuk membedakannya dengan patih-patih di negara bawahan, seperti Daha, Kahuripan, Wengker, Matahun, dan sebagainya.
Kakawin Nagarakretagama juga menyinggung bahwa para patih negara bawahan dan para pembesar lainnya seperti demung berkumpul di kepatihan Majapahit, yang dipimpin oleh patih Gadjah Mada. Jadi, seluk-beluk pemerintahan seluruh negara ditentukan oleh patih Majapahit.
Para patih dan pembesar negara bawahan menerima perintah dari patih Majapahit dan memberikan laporan tentang keadaan negara-negara bawahan kepada sang patih. Demikianlah patih negara bawahan, biasa disebut dengan patih saja, melaksanakan pemerintahan di negara bawahan, sedangkan patih seluruh negara memberikan perintah dan arahan tentang bagaimana menjalankan negara bawahan atau di daerah.
Jejak jabatan sang panca Wilwatikta kiranya sudah ada pada awal pembentukan negara Majapahit sebagai lanjutan negara Singasari. Namun nama-nama pejabatnya tidak disebut dalam piagam Kudadu. Pada piagam itu, hanya patih, demung, dan kanuruhan yang disebut.
Baru dalam piagam Penanggungan dijumpai lengkap, baik jabatan maupun nama para pejabatnya. Berdasarkan atas pemberitaan Pararaton dan Kidung Rangga Lawe pada awal pembentukan negara Majapahit yang menjadi patih adalah Mpu Nambi. Pengangkatan Nambi sebagai patih itulah yang menyebabkan timbulnya pemberontakan Rangga Lawe pada tahun 1295, atau pertama kali sejak Majapahit dideklarasikan jadi kerajaan.
Bila disebutkan ada beberapa orang yang mengisi jabatan di Sang Panca Wilwatikta sebagaimana ditemukan pada berbagai piagam. Di Piagam Penanggungan bertarikh 1296 misalnya ada Rakryan mapatih : Pu Tambi, Rakryan demung. Pu Renteng, Rakryan kanuruhan: Pu Elan, Rakryan rangga: Pu Sasi, dan Rakryan tumenggung: Pu Wahana
Di Piagam Sidateka bertarikh 1323 terdapat Mapatih ring Majapahit yang diisi Dyah Halayudha, Rakryan demung diisi Pu Samaya, Rakryan kanuruhan : Pu Anekakan, Rakryan rangga: Pu Jalu, dan Rakryan tumenggung tidak disebut.
Sementara Piagam Berumbung, 1329 menjelaskan sang panca wilwatikta Rakryan mapatil Pu Krewes, Rakryan demung: Pu Tanparowang, Rakryan kanuruhan: Pu Blen, Rakryan rangga: Pu Roda, dan Rakryan tumenggung: Pu Wayuh. Di Piagam O.J.O. LXXXIV, tanpa tarikh juga dijelaskan Rake mapatih ring Majapahit dijabat oleh Pu Gadjah Mada, Rake demung : Pu Alus, ake kanuruhan: Pu Bajil, Rake rangga : Pu Ba, sayang ini tidak terlalu terbaca jelas, dan, terakhir Rake tumenggung Pu Lembu Nala
Sedangkan di Piagam Batur, tanpa tarikh, Rakryan mapatih Janggala, Kediri: Mpu Mada, Rakryan demung: Mpu Kapat, Rakryan kanuruhan: Mpu Pakis, Rakryan tumenggung diisi Mpu Nala, serta Rakryan rangga yang tidak disebut.
Terakhir di Piagam Bendasari O.J.O. LXXXV, tanpa tarikh Rake mapatih : Pu Mada, Rakryan demung: Pu Gasti, Rakryan kanuruhan: Pu Putut, Rakryan rangga: Pu Lurukan, dan Rakryan tumenggung: Pu Nala.
(Angkasa Yudhistira)