Teman-temanya dulu rata-rata melanjutkan kuliah ke luar daerah. “Sementara saya apa? Uang pun tak punya. Jangankan mau kuliah,
bermimpi kuliah saja tidak berani. Makan saja susah kok, mau kuliah,” keluhnya.
Nasib harus direbut, demikian yang ada di benak Agus yang mulai memantapkan diri untuk mendaftar ke Sekolah Calon Bintara (Secaba).
Sayangnya gagal di tangan panitia penentu akhir (pantukhir). Di titik ini, siapa pun akan merasa semakin terpuruk. Tidak terkecuali Agus.
Dia kemudian mencoba melamar kerja menjadi sekuriti yang juga ditolak. Bahkan lamaran keja berbekal ijazah SMA yang dia kirim ke
berbagai perusahaan, termasuk mal juga nihil. Tidak satu pun membuahkan hasil.
Nyatanya kegagalan beruntun tidak juga membuatnya menyerah. Menurut Agus, hanya takdir yang tak bisa berubah, tetapi nasib bisa
diperjuangkan.
Selanjutnya Agus mulai mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Salat lima waktu tak pernah lagi dia tinggalkan, termasuk salat sunah seperti
salat duha, tahajud berikut salat witirnya. Doa-doa terus dipanjatkan, meratap di hadapan Allah. Tak lupa dia juga berpuasa Senin-Kamis
dengan rutin.
“Mendekatkan diri kepada Allah saya lakukan terus-menerus biar tenang. Hingga pada akhirnya ada informasi jika ada penerimaan di Akademi
Militer atau Akmil,” tuturnya.
Agus kemudian mendaftarkan diri ke Akmil dan lulus pada 1991. Selepas itu kariernya cukup cemerlang hingga berbagai jabatan strategis
diemban, di antaranya adalah komandan Paspampres (2020-2021), panglima Kodam III/Siliwangi (2020-2022). Lalu dia menjabat Wakasad,
Kasad dan puncaknya sekarang dipercaya oleh Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI.
Agus Subiyanto bukanlah orang yang dalam pepatah disebutkan sebagai kacang yang lupa pada kulitnya. Dia kini banyak membantu warga
desa.
Dia bangun lapangan bola, jembatan, masjid, dan barbagai fasilitas umum lain. Agus juga sedikit pun tak memiliki rasa canggung saat bertemu
para sahabat kecilnya, sanak saudara, dan tetangganya.
Dengan kawan, warga, dan masyarakat Agus berbaur, tidak melebarkan jarak. Salat bersama, kadang makan di terminal bersama teman-
teman sepermainan dulu. Bercanda dengan warga, menyusuri gang-gang sempit yang becek di kampungnya sudah biasa dia lakukan.
(Salman Mardira)