Tahun Baru Saka, Perayaan Keharmonisan Hidup dengan Alam Semesta beserta Segenap Isinya

Opini, Jurnalis
Rabu 13 Maret 2024 23:10 WIB
Ogoh-Ogoh (Foto: Instagram @imformbali_channel)
Share :

Sistem Kalender Saka di Bali

Kalender Saka yang digunakan oleh masyarakat Hindu Bali saat ini adalah hasil modifikasi untuk menyelaraskan kalender Saka dengan kebutuhan praktis, khususnya dalam perencanaan acara keagamaan. Modifikasi bertujuan memastikan akurasi dari perhitungan dalam menentukan tanggal-tanggal penting terkait perencanaan dan pelaksanaan upacara keagamaan seperti Nyepi, Galungan, dan Kuningan. Modifikasi kalender Saka di Bali diharapkan memudahkan penggunaan sehari-hari, tetapi dengan tetap menjaga nilai-nilai tradisional Hindu. Dengan penyesuaian tertentu, umat Hindu dapat lebih mudah mengintegrasikan kalender Saka dengan kehidupan modern mereka. Modifikasi kalender Saka di Bali dilakukan sesuai kebutuhan lokal dan tradisi masyarakat setempat.

Kalender Saka di Bali memiliki 12 bulan, namun ada saatnya menjadi 13 bulan. Penambahan ini untuk menyesuaikan dengan perhitungan kalender Matahari. Kalender yang menerapkan sistem lunisolar atau suryacandra ini menggunakan fase Bulan sebagai acuan utama namun juga menambahkan pergantian musim di dalam perhitungan tiap tahunnya. Kalender ini biasanya ditandai dengan adanya bulan-bulan Kabisat beberapa tahun sekali ataupun berturut-turut. Dengan demikian jumlah bulan dalam satu tahun dapat mencapai 12 sampai 13 bulan. Berikut nama-nama bulan dalam kalender saka di Bali:

Kaesa: kalender Masehi Juli-Agustus

Karo: kalender Masehi Agustus-September

Katiga: kalender Masehi September-Oktober

Kapat: kalender Masehi Oktober-November

Kalima: kalender Masehi November-Desember

Kaenem: kalender Masehi Desember-Januari

Kapitu: kalender Masehi Januari-Februari

Kawolu: kalender Masehi Februari-Maret

Kasanga: kalender Masehi Maret-April

Kadasa: kalender Masehi April-Mei

Jhista: kalender Masehi Mei-Juni

Sadha: kalender Masehi Juni-Juli.

Kalender saka dengan 12 bulan disebut tahun pendek, sedangkan 13 bulan adalah tahun panjang. Selisih satu bulan ini disebut pengrepeting sasih yang diberi nama mala-masa. Adanya selisih bulan ini terjadi pada dua bulan (sasih). Pengrepeting sasih pada jhista disebut mala-jhista, sementara selisih pada bulan sadha disebut mala sadha.

Pada kalender lunisolar, pergantian hari terjadi ketika Matahari terbenam dan awal setiap bulan adalah saat konjungsi atau saat munculnya hilal atau Bulan sabit yang bisa kita lihat pertama kali tepat setelah fase Bulan baru. Sistem perhitungannya adalah pergantian bulan dalam penanggalan didasarkan pada siklus sinodik Bulan, dan untuk menyingkronkannya dengan penyesuaian musim, maka akan ada sisipan hari dalam setiap bulan tertentu, atau penambahan bulan dalam rentang tahun tertentu. Satu bulan berumur 29-30 hari dengan tiap hari memiliki nama sendiri. Nama ini memiliki padanan dalam tahun masehi, seperti berikut ini:

Radite: kalender Masehi Minggu

Coma: kalender Masehi Senin

Anggara: kalender Masehi Selasa

Buda: kalender Masehi Rabu

Wraspati: kalender Masehi Kamis

Sukra: kalender Masehi Jumat

Saniscara: kalender Masehi Sabtu.

Selain nama bulan dan hari yang berbeda, kalender Saka di Bali juga menerapkan sistem wuku. Perhitungan wuku adalah siklus penanggalan Bali yang berumur 7 hari atau satu pekan. Siklus wuku berusia 30 pekan atau 210 hari. Wuku lahir dari kepercayaan akan adanya hari baik dan buruk. Setiap orang akan memilih wuku atau hari yang dianggap tepat untuk melakukan kegiatan agama atau kegiatan sehari-hari lainnya. Setiap wuku dipercaya telah dipengaruhi berbagai elemen alam dan dewa dalam agama Hindu yang membawa keberuntungan atau sebaliknya. Nama-nama wuku dalam kalender Saka di Bali adalah: Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Toulu atau Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigadean atau Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia atau Mdangsya, Pujut, Paang atau Pahang, Krulut, Merakih atau Mrakih, Tambir, Medangkungan atau Mdangkungan, Matal, Uye, Menail atau Mnail, Prangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu, Dukut, Watugunung.

Meskipun Indonesia secara resmi menggunakan kalender Gregorian, pemerintah Indonesia juga mengakui penggunaan kalender Saka dalam konteks keagamaan Hindu. Sebagai contoh, perayaan Nyepi, yang merupakan hari raya Tahun Baru Saka, diakui sebagai hari libur nasional. Penggunaan tahun Saka di Indonesia menjadi bukti sejarah panjang dari pengaruh Hindu-Buddha dalam perkembangan kebudayaan dan keagamaan di negeri ini.

Makna di Balik Perayaan Tahun Baru Saka

Umat Hindu di Indonesia menggunakan kalender Saka dalam urusan keagamaan, misalnya perayaan Nyepi, Tahun Baru Saka yang tahun 2024 jatuh pada Senin, 11 Maret 2024 sebagai tahun Saka 1946. Sesuai kalender Saka di Bali, hari raya Nyepi jatuh pada bulan kadasa sehingga nama bulan ini yang paling umum dan paling sering disebut sebagai bulan pertama dalam kalender Saka di Bali. Sebelum memasuki Tahun Baru Saka, umat Hindu melaksanakan tiga acara pokok, yaitu Melasti atau Melis, Tawur Kesanga dan Catur Brata Penyepian.

Lontar Sanghyang Aji Swamandala menyatakan tujuan dari upacara Melasti atau Melis adalah “Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana”, atau “melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam”. Sementara lontar Sundarigama menuliskan : Amet sarining amerta kamandalu ring telenging segara. Artinya, mengambil sari-sari air kehidupan di tengah samudra.

Melasti adalah upacara pembersihan jagat raya atau buwana agung dan diri manusia dengan menggunakan air kehidupan yang diambil dari tengah samudra atau sumber-sumber air lainnya. Air kehidupan diharapkan mampu menyingkirkan hal-hal buruk dari alam semesta maupun dari dalam diri manusia. Melasti juga merupakan bentuk permohonan kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa supaya umat Hindu diberikan kekuatan dalam memasuki tahun yang baru.

Upacara selanjutnya adalah Tawur Kesanga. Kata tawur berati mengembalikan. Tawur Kesanga adalah upacara menyucikan alam semesta sebagai sumber kehidupan dengan cara secara simbolik melalui caru atau kurban, mengembalikan isi alam semesta yang diambil oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Melalui upacara ini diharapkan akan tercipta keseimbangan alam semesta dan kesejahteraan hidup manusia.

Sebagai puncak dari persiapan menyambut datangnya tahun baru Saka, pada tanggal Apisan sasih Kadasa atau tanggal satu tahun baru Saka, umat Hindu diwajibkan melaksanakan Catur Brata Penyepian. Lontar Sundarigama menjelaskan perihal Catur Brata Penyepian ini sebagai berikut :

“...enjangnya nyepi amati geni , tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan.”

Artinya: “...besoknya Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melaksanakan samadi tapa yoga menuju kesucian.”

Catur Brata Penyepian terdiri dari empat kewajiban di hari raya Nyepi, yakni amati geni atau tidak menyalakan api, dengan demikian maka umat Hindu tidak memasak dan wajib menjalankan upawasa atau puasa. Amati lelungan, atau tidak bepergian keluar rumah. Amati lelanguan, atau tidak menikmati hiburan dan amati karya atau tidak melakukan pekerjaan pada umumnya. Dengan demikian umat Hindu diwajibkan untuk melaksanakan samadhi, tapa yoga atau perenungan dalam keheningan di dalam rumah atau tempat suci.

Keseluruhan acara dalam perayaan Nyepi di atas dilakukan untuk mencapai kondisi diri manusia yang bersih, demikian juga kondisi alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan menuju kehidupan yang suci dan sejahtera. Dalam ajaran Hindu, kondisi kehidupan sejahtera lahir dan batin yang dicapai melalui jalan dharma atau jalan kebenaran itu disebut jagadhita dan moksha. Untuk mencapai itu, umat Hindu harus menjalani 4 tujuan hidup yang disebut catur purusa artha atau catur warga, yakni dharma, artha, kama dan moksha. Dan untuk mewujudkan catur warga itu manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Kitab Sarasamuscaya 135).

“Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan masih ring sarwa prani.”

Artinya:

Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

“Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mang dharma, Artha, kama moksha”

Artinya:

Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Kesimpulan

Perayaan Nyepi, Tahun Baru Saka adalah perayaan untuk memperingati keyakinan bahwa tujuan ideal dari kehidupan manusia, yaitu kesejahteraan lahir dan batin di jalan dharma atau jalan kebenaran, dapat dicapai jika manusia mampu menjaga keseimbangan dan keharmonisan hidup antar sesama, dan antar manusia dengan makhluk lain serta segenap isi alam semesta.

Bintaro, 10 Maret 2024

Oleh: Ray Wijaya

 

 

(Fakhrizal Fakhri )

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya