Pada abad ke-12 zaman Kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat, dan abad ke-14 di bawah pemerintahan Jokotole, istilah carok masih belum dipahami. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17, tidak ada istilah Carok.
Pemicu terjadinya Carok bisa banyak hal, dari perebutan kekuasaan, warisan, hingga perselingkuhan. Tradisi ini pertama kali berkembang di Madura pada zaman pendudukan Belanda, sekitar abad 18.
Kala itu, Belanda menghasut warga untuk melakukan perlawanan terhadap keluarga Blater, jagoan asal Madura, yang disebut-sebut sebagai kaki tangan penjajah. Hingga akhirnya terjadi Carok antara warga lokal dengan ‘saudara’ sendiri dari kaum Blater.
Berawal dari sinilah, masyarakat setempat terbiasa menyelesaikan masalah mereka dengan bertarung menggunakan celurit. Bahkan ketika Indonesia merdeka, tradisi Carok ini masih terus terpelihara di Bangkalan, Sampang, hingga Pamekasan.
Sebelum melakukan Carok, para peserta biasanya akan sepakat tentang hari pertarungan terlebih dahulu. Setelahnya mereka akan membuat arena yang bisa disaksikan oleh siapa saja.