JAKARTA – Ketegangan antara China dengan Amerika Serikat (AS) di Laut Cina Selatan dikhawatirkan akan meningkat seiring dengan laporan potensi senjata berkapabilitas nuklir di wilayah tersebut. Pasalnya, China dilaporkan sedang mempersiapkan kapal selam siluman baru yang dipersenjatai rudal hipersonik berhulu ledak nuklir untuk melawan rudal Typhoon buatan AS yang ditempatkan di Filipina.
Langkah AS untuk merelokasi peluncur Typhoon-nya di Pulau Luzon, Filipina, untuk memblokir kehadiran China di Laut Cina Selatan berpotensi mendorong situasi di wilayah tersebut ke tahap yang mengancam. Filipina bisa menjadi titik api baru antara China dan AS yang mengarah ke pertikaian besar, yang dapat berpotensi memicu konflik global, demikian dilansir The Singapore Post, Selasa, (11/3/2025).
Sebuah laporan di majalah militer semi-resmi China, Naval & Merchant Ships, yang dilansir South China Morning Post (SCMP) baru-baru ini menyebutkan bahwa sebuah kapal selam yang sedang dikembangkan di galangan kapal di Wuhan secara khusus dibuat untuk menargetkan sistem pertahanan rudal Typhoon milik AS yang ditempatkan di Filipina.
Laporan SCMP mencatat bahwa majalah yang dimiliki oleh China State Shipbuilding Corporation (CSSC), yang merupakan pemasok Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA-N), membeberkan desain serta fitur dari kapal selama tersebut.
Meski laporan tersebut mengonfirmasi keberadaan kapal selam tersebut, tidak ada informasi resmi dari Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) mengenai statusnya. Tidak diketahui apa kelas dari kapal selam tersebut dan apakah sedang dalam pengembangan.
Menurut laporan SCMP, publikasi tersebut menyatakan bahwa kapal selam terbaru China dapat melakukan serangan rudal hipersonik nuklir yang menjadikannya senjata andalan PLA untuk melakukan serangan rahasia di luar garis musuh dan juga menggunakannya sebagai alat untuk mengancam Filipina dengan konsekuensi mengerikan.
Kapal selam terbaru China dipersenjatai dengan YJ-21, yang dikerahkan pada kapal selam serang nuklir Tipe 093 (SSN), dan diperkirakan memiliki jangkauan 1.500 hingga 2.000 kilometer dengan perkiraan kecepatan Mach 10.
Laporan SCMP menyebutkan bahwa kapal selam baru tersebut pertama kali terlihat pada pertengahan 2024 dan memiliki fitur-fitur seperti sistem peluncuran vertikal, sirip ekor berbentuk X, dan propulsi udara independen (AIP).
Pada November 2024, Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro telah meminta China untuk menjauh dari laut Filipina Barat dan menyingkirkan sistem rudal balistiknya dari wilayah tersebut.
Tetapi China malah mengadakan uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) besar-besaran dari Provinsi Hainan yang berdampak hingga 11.500 km di dekat zona ekonomi eksklusif di Polinesia Prancis.
Awal tahun ini, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mengusulkan penyingkiran sistem rudal Typhon AS sebagai imbalan atas penghentian aksi agresif China di Laut China Selatan. Namun, kata-kata pemimpin Filipina itu tidak didengar karena Juru bicara Menteri Luar Negeri China Guo Jiakun menekankan pada Februari lalu bahwa China akan meneruskan tuduhannya terhadap Filipina dengan alasan melindungi kepentingannya.
Meski Filipina juga memiliki baterai rudal permukaan-ke-udara (SAM) SPYDER, sistem senjata tersebut tidak mampu menetralkan ancaman nuklir hipersonik China, dan oleh karenanya sangat bergantung pada sistem rudal Typhon yang memerlukan peningkatan lebih lanjut.
Pada Mei 2024, AS mengerahkan peluncur rudal Patriot di Filipina, yang mampu mencegat rudal hipersonik, menambah lapisan perlindungan di perbatasan Filipina. Namun, kapal selam terbaru China yang sedang diproduksi akan semakin mendorong kekuatan angkatan lautnya di Laut China Selatan, yang jelas merupakan situasi mengkhawatirkan bagi Filipina dan pemangku kepentingan global lainnya.
Menurut laporan South China Sea Strategic Situation Probing Initiative (SCSPI) pada April 2024, sekira 11 kapal selam nuklir (SSN) AS dan dua kapal selam rudal balistik nuklir (SSBN) muncul di Laut China Selatan pada 2023. China selalu menganggap kapal selam AS sebagai ancaman bagi kapal selam bersenjata nuklirnya yang berpatroli di Laut China Selatan, dan Filipina berisiko terjebak dalam pertukaran nuklir antara AS dan China.
China melihat kapal selam terbarunya sebagai pencegah strategis utama terhadap kelompok penyerang kapal induk dan pangkalan militer musuh dengan tetap menjaga 9 garis putus-putusnya dalam perspektif yang tumpang tindih dengan wilayah beberapa negara seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Sembilan garis putus-putus China telah mengakibatkan banyaknya sengketa teritorial di Laut China Selatan dan di saat yang sama, merupakan kepentingan strategis utama bagi perdagangan maritim AS.
Kini, dengan Donald Trump kembali berkuasa di Amerika Serikat, situasi geopolitik di Laut China Selatan telah menjadi seperti kabel listrik, dengan negara-negara saling bersitegang dan satu kesalahan dapat memicu perang dunia.
(Rahman Asmardika)