Berbagai jenis tersebut bahkan juga dikonsumsi oleh kaum pribumi secara masif. Tak hanya orang dengan golongan kaya saja, pribumi miskin turut menghisap rokok yang diolesi candu dan mereka yang memamah sirih pinang pun ikut dicampur candu. Jika itu ikut dihitung, barangkali data dari penguasa Belanda pengguna narkotika hampir dapat dipastikan lebih banyak dari 3 juta orang.
Banyak orang menganggap candu menawarkan satu - satunya jalan keluar dari kesulitan hidup yang begitu juga keras dan menguras tenaga. Di Pacitan, setelah Perang Jawa sebuah pesta besar keagamaan digelar untuk merayakan berakhirnya panen kopi. Uang pembayaran panen yang diterima langsung dipakai untuk makan candu.
Selama Perang Jawa sendiri, ada laporan-laporan yang mengatakan bahwa banyak tentara Diponegoro yang jatuh sakit karena tidak dapat candu. Para pengecer candu dari etnis Tionghoa meraup untung dengan berdagang di belakang garis pertahanan Pangeran Diponegoro ketika sentimen - sentimen anti Tionghoa yang keras di bulan - bulan awal pemberontakan sudah berangsur-angsur mereda.
Bagi si kaya, candu adalah pengisi waktu senggang, namun ketagihan candu adalah bencana bagi si miskin. Sebab jika timbul sedikit saja keinginan untuk menghisap candu, hal itu sudah mampu menjungkirbalikkan hidup seorang petani Jawa baik-baik menjadi pelaku tindak kriminal.
Selama Perang Jawa, Gubernur Jenderal Belanda Nahuys Van Burgst menghendaki agar para buruh tani tak berlahan, dan para gelandangan ditangkapi saja. Mereka dengan bahu kurus dan tangannya halus bertanda tidak pernah kerja mencangkul, serta yang mata bibir, dan warna kulitnya menyingkapkan kebiasaan mereka menggunakan narkotika.
(Puteranegara Batubara)