NEW YORK CITY - “Bagi saya, ini sangat bermakna,” kata Kulapat Yantrasast dari firma arsitek WHY Architecture. Dia berdiri memandang penuh kagum galeri Michael Clark Rockefeller di The Metropolitan Museum of Art (The Met), New York City, Amerika Serikat, Sabtu (31/5/2025). “Ini tempat di mana tiga perempat dunia berada dalam satu sayap,” tuturnya.
Sayap Michel Rockefeller tak lain salah satu ruang di The Met, museum ensiklopedia ternama AS. Dibuka pertama kali pada 1982, Michael Rockefeller Wing ditutup pada 2021 untuk renovasi. Kini galeri itu dibuka kembali pada akhir Mei lalu. Tidak kurang dari 2.000 objek dari tiga wilayah geografis berbeda dipamerkan pada ruangan indah ini.
Dilaporkan laman Archpaper, Sayap Michael Rockefeller didesain ulang WHY Architecture dan Beyer Blinder Belle. Mereka memberikan sentuhan anyar dari ruang yang sebelumnya didesain arsitek Kevin Roche dan John Dinkeloo.
“Sayap Michael Rockefeller menempatkannya kembali nama itu dalam sorotan. Rockefeller, putra bungsu Gubernur New York saat itu Nelson Rockefeller, tidak pernah kembali dari perjalanan ke benua yang berjarak 9.000 mil,” tulis media Town&Couyntry, dikutip Selasa (3/6/2025).
Lahir pada 18 Mei 1983, Michael C Rockefeller bukan remaja sembarangan. Ayahnya, Nelson Aldrich "Rocky" Rockefeller, politikus Partai Republik yang sukses menjadi Gubernur New York periode 1959 -1973. Rocky lantas melesat menjadi wakil presiden mendampingi Gerald Ford (1974-1977).
Michael tak dimungkiri penerus Dinasti Rockefeller yang kaya-raya. Kakek buyutnya, John Davison Rockefeller Sr, merupakan taipan minyak yang juga salah satu pendiri Standard Oil. Bisnis emas hitam tersebut dilanjutkan John D Rockefeller Jr hingga terus ke Rocky.
Michael mengenyam pendidikan di The Buckley School, New York, kemudian Akademi Phillips Exeter di New Hampshire. Setelah itu dia mampu menembus kampus top dunia, Universitas Harvard. Semasa kuliah inilah dia tergabung dalam ekspedisi Museum Arkeologi dan Etnologi Peabody Harvard untuk mempelajari antropologi Suku Dani di Lembah Baliem, Papua.
“Dia lulus pada 1960. Selama kunjungan pertamanya ke Nugini pada musim semi 1961 bersama Ekspedisi Nugini Harvard-Peabody, Michael Rockefeller melakukan perjalanan singkat ke Asmat,” tulis laman resmi Universitas Harvard.
Penelitian di pedalaman Tanah Cenderawasih ini yang kelak mengakhiri hidupnya. Michael hilang tanpa pernah ditemukan meski pencarian besar-besaran melibatkan Angkatan Darat AS hingga TNI telah dikerahkan. Berbagai spekulasi tentang kematiannya merebak.
“Penyebab resmi kematian Michael adalah tenggelam, tetapi sudah lama beredar banyak rumor mulai dari diculik dan ditawan. Dia menjadi penduduk asli dan bersembunyi di hutan. Dia dimakan hiu. Dia berhasil mencapai pantai, tetapi dibunuh dan dimakan oleh pemburu kepala suku Asmat setempat. Ceritanya berkembang, menjadi mitos,” kata Carl Hoffman dalam artikel berjudul What Really Happened to Michael Rockefeller yang diterbitkan Smithsonian.
Tragedi Michael bermula pada 17 November 1961 saat remaja berkaca mata ini bersama antropolog Belanda, Rene Wassing, dan beberapa penduduk lokal mengarungi kano di laut wilayah Otsjanep, Papua. Tujuan mereka, mempelajari suku Asmat.
Kedatangan ini sesungguhnya bukan kali pertama. Pada Maret 1961 dia mengikuti ekspedisi di Lembah Baliem. Saat itu mendengar cerita tentang Suku Asmat yang terkenal dengan seni ukir. Sayang perjalanan ini berakhir dengan musibah. Kano itu terbalik dihantam ombak.
Michael ditengarai tak sabar menanti bantuan. Pria berusia 23 tahun itu memilih berenang menuju pantai. Akan halnya Rene bertahan di kano. Dia berhasil ditemukan tim penyelamat keesokan hari.
“Saat Rene berhasil diselamatkan, Michael tak pernah ditemukan," kata Iwan Santosa dan EA Natanegara dalam buku Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus.
Hilangnya jejak Michael membuat gempar dunia. Media-media AS mengulas insiden anak konglomerat ini sebagai headline. Upaya pencarian besar-besaran dilakukan dengan mengerahkan pasukan terlatih US Army dengan helikopter, pesawat, hingga kapal.
Namun, semuanya nihil. Michael tak pernah ditemukan. Carl Hoffman yang sengaja datang ke Papua beberapa tahun kemudian mencoba menyingkap tabir kematian itu. Dia pun memeriksa kepingan demi kepingan cerita termasuk laporan dan surat dari Pemerintah Belanda, juga misionaris berbahasa Asmat, dan otoritas Gereja Katolik, yang sebagian besar tidak pernah dipublikasikan.
Dari hasil investigasi panjang di Papua itu Hoffman mendengar beberapa cerita tentang orang-orang Otsjanep yang membunuh Michael setelah dia berenang ke pantai. Kemungkinan Michael dimangsa suku kanibal menyeruak atas dasar kemungkinan wilayah terdekat yang bisa dicapainya ketika berenang adalah Otsjanep, tempat yang ketika itu masih mempraktikkan kanibalisme.
Apa pun, hingga saat ini jasad Michael tak pernah ditemukan. Berdasarkan hukum Amerika, anak bungsu Nelson Rockefeller itu dinyatakan meninggal dunia pada 1964. Untuk menghormati, namanya diabadikan sebagai salah satu ruangan (sayap) di The Metropolitan Museum of Art di New York.
(Zen Teguh)